Rabu, 24 September 2008

Fenomena Pilkada Sumsel

Tanggal 4 September 2008 yang lalu, Sumatra Selatan mengadakan pemilihan kepala daerah (gubernur) secara langsung. Ini adalah pilkada langsung yang pertama di daerah itu. Pilkada ini akhirnya dimenangkan oleh pasangan Alex Noerdin - Edi Yusuf, setelah menang tipis atas pasangan Syahrial Oesman - Helmi Yahya. Walaupun hasil keputusan KPUD Sumsel mendapat tantangan berupa demo besar - besaran dari pendukung pasangan calon yang kalah, tapi itulah hasil dari sebuah proses demokrasi, yang harus disikapi secara bijaksana dan kepala dingin...

Aku tergelitik untuk sedikit menulis tentang hal ini mengingat fenomena pilihan antara 2 pasangan calo yang harus dipilih oleh masyarakat Sumsel, tentunya ini hanya sekedar pandangan pribadiku, yang hanya mendasarkan atas pengalamanku yang sering berkunjung ke Sumsel (khususnya di Muba), bargaul dengan teman - teman di sana dan membaca koran daerah Sumsel.... Jadi tidak bisa dijadikan untuk acuan apapun dan ditulis tanpa pretensi apapun...

Syahrial Oesman dikenal oleh masyarakat Sumsel sebagai gubernur sipil yang berhasil membangun dan membuat aman propinsi Sumatra Selatan. Alumni Universitas Sriwijaya ini memimpin Sumsel dalam periode 2003 - 2008. Dulu, sebelum pak Syahrial menjabat kesan angker selalu dirasakan oleh hampir sebagian besar orang non Sumsel jika berkunjung atau bahkan sekedar melintas propinsi Sumatra Selatan. Ini diperkuat dengan karakter masyarakat Sumsel yang memang 'keras'. Jadi harus hati - hati kalau ke sana.... Walaupun sesungguhnya sikap hati - hati harus tetap kita pelihara dimanapun kita berada. Selain aman, pak Syahrial juga berhasil membangun Sumsel dalam banyak bidang, seperti : pendidikan, kesehatan, pertanian, infrastruktur jalan, industri dll termasuk bidang olahraga yang ditandai dengan suksesnya PON XVII (???) di Sumsel dan Sriwijaya FC, klub sepakbola asal kota Palembang yang berhasil mendapat double winner di kancah sepakbola Indonesia. Singkatnya beliau termasuk pemimpin Sumsel yang berhasil....

Alex Noerdin adalah alumni ITB yang dikenal sebagai bupati kabupaten Musi Banyuasin (Muba) yang fenomenal. Saat ikut pilkada gubernur kemarin, dia belum lama menjabat untuk yang kedua kalinya sebagai Bupati Muba. Gebrakannya saat menjabat sungguh hebat kalau boleh dikatakan luar biasa. Pak Alex adalah bupati pelopor pendidikan dan berobat gratis di kabupaten Muba (mungkin yang pertama di Indonesia ???) dan program itu bisa dikatakan berhasil. Kabupaten Muba yang dulu terbelakang dan sangat tidak aman, ditangannya menjadi sangat maju dan relatif aman, jalan - jalan yang dahulu rusak dan banyak lubang jadi lebar dan teraspal licin, dan itu tembus sampai ke pelosok Muba. Sekolah di Muba dari SD sampai SMU gratis dengan gedung dan sarana pendidikan memadai, rumah sakit dan puskesmas tersedia dan relatif cukup merata di pelosok kabupaten, dengan layanan gratis. Selain itu iklim investasi juga relatif kondusif di sana, sehingga industri mulai dari migas sampai pertanian dapat operasional secara normal, sehingga geliat ekonomi di kabupaten ini benar - benar terasa denyutnya..... Singkat kata (sekali lagi menurut pandangan pribadiku...), pak Alex juga figur pemimpin yang berhasil dan dapat diandalkan....

Terlepas dari black campaign yang dilancarkan oleh kedua kubu tim sukses pada saat kampanye lalu, rakyat Sumsel dihadapkan pada dua pilihan yang sama - sama nyaman untuk dipilih. Mereka punya calon - calon pemimpin yang sudah teruji mampu memimpin dan berkomitmen penuh untuk membangun masyarakat dan daerah Sumsel. Jadi terlepas dari siapa yang menang dan siapa yang kalah, bersyukurlah saudara - saudaraku di Sumsel sana atas dua pilihan yang ada.... Gak perlu lagi saling adu mulut apalagi adu tinju untuk menjatuhkan satu sama lain. Ayo maju bersama, bahu membahu membangun negeri ini. Indonesia tercinta sudah terlalu lama menderita.....

Sabtu, 20 September 2008

Kisah Masa Lalu....

Saat ini dadaku terasa sesak, sesak oleh kebanggan yang tiada kira. Ya, siapa yang tak bangga? Hari ini adalah hari pertamaku resmi menyandang predikat mahasiswa, mahasiswa teknik dari sebuah institusi teknik yang katanya terbaik di negeri ini. Di kepalaku sudah terisi segudang angan – angan tentang dunia kemahasiswaan yang akan aku arungi, dunia yang ilmiah dan penuh dengan rumus – rumus hukum alam yang panjang, dunia belajar yang terbebas dari seragam dan lonceng sekolah, dunia saat aku mulai belajar politik dan demokrasi untuk turut serta mengatur jalannya pemerintahan negeri ini, dunia yang terbebas dari aturan orang tua di rumah dan yang paling utama dunia yang akan banyak digandrungi cewek – cewek cantik karena kampusku adalah kampus terbaik dan ada di kota B tempat surganya cewek – cewek cantik. Hm…luar biasa memang angan – anganku waktu itu.

Tanpa terasa 4 tahun sudah berlalu dari saat pertama aku menjadi mahasiswa dan 4 tahun pula aku merasakan kecewa atas angan – anganku sendiri yang tak juga jadi kenyataan, terutama angan – anganku untuk digandrungi cewek – cewek cantik. Yah! boro – boro digandrungi, kenalan cewekku saat ini saja tidak lebih dari jumlah sepuluh jari tanganku dan mirisnya lagi nggak ada yang cantik! Kekecewaan itu pada akhirnya menimbulkan banyak pertanyaan di kepalaku dan tanpa sadar sempat terlontar pertanyaan pada ibuku saat aku liburan ke kotaku.

“Bu, apa tampangku jelek banget sih?”, tanyaku
“Kok nanyamu begitu San, ada masalah apa?”
“Nggak ada masalah apa – apa kok bu, aku cuma pingin tahu pendapat ibu aja tentang tampangku ini…”.
Mendengar kata – kataku itu berderailah tawa ibu : “Ha..ha..ha.. San! San…! mahasiswa tingkat akhir kok pertanyaannya seperti anak SD gitu…”, lanjutnya, “Apa uang bulananmu sama sekali tidak tersisa untuk kamu belikan cermin sampai – sampai tampangmu sendiri kamu nggak tahu…?”
Sambung ibu selanjutnya, “ Nggak ada yang kurang dari tampangmu San! semuanya lengkap dan sempurna, kamu harus mensyukuri karunia yang dilimpahkanNya padamu, lagian tampang ataupun penampilan fisik dari seorang manusia itu bukan yang utama karena yang paling utama ada di hatinya, dihatimu….”
“Sebenarnya ada apa sih San?”, tanya ibu ingin tahu.
“Ah, nggak ada apa – apa kok bu, pingin tahu pendapat ibu aja, matur nuwun (terima kasih)”, sahutku seraya pergi meninggalkan ibu untuk menghindari pertanyaan – pertanyaan ibu lainnya.

Di kamarku aku berpikir tentang apa – apa yang barusan dikatakan ibu, memang benar semua yang dikatakan ibuku itu, tapi walaupun begitu tetap saja pertanyaan – pertanyaan tentang ketidakmampuanku bergaul dengan kaum hawa dan menjadikan salah satu dari mereka menjadi pacarku selalu terngiang – ngiang di telingaku. Kalau penampilan fisik aku punya, isi kepala cukup , status mahasiswa tingkat akhir perguruan tinggi ternama, dompet ada isinya sedikit, lantas apa yang kurang dariku….? Dan sejujurnya pertanyaan – pertanyaan itu menghantui hidupku, mengganggu tidurku…
Hanya untungnya aku termasuk golongan manusia egois, manusia yang tidak mau kalah dalam urusan belajar, jadi pertanyaan – pertanyaan tadi tidak cukup daya untuk merusak konsentrasi belajarku.

Pikirku, “Mungkin ada sesuatu yang aku tak punya dan aku tidak tahu itu apa tapi sangat penting…! Ah aku harus mencari jawabannya, tak pas rasanya kalau calon insinyur teknik seperti aku pacarpun nggak punya”.
“Aku harus mencari jawaban pertanyaanku itu segera! Dan kalau sudah kudapat jawabannya akan kugunakan untuk mencari pacar yang kuidam - idamkan”, lanjutku dalam hati.
Hingga akhirnya disela – sela mengerjakan skripsiku aku jadi rajin nongkrong di tempat – tempat anak muda kota B biasa ngumpul dan tidak ketinggalan aku kursus kepribadian sama teman karibku Eko. Eko yang kukenal adalah mahasiswa yang sederhana, seimbanglah sama aku, tapi pacarnya cantik – cantik dan sering ganti - ganti, dia teman satu kostku, anak kota C yang mengambil kuliah jurusan teknik juga hanya beda kampus denganku, dari Eko aku belajar banyak tentang cara – cara bergaul, bertelpon, berbicara yang menarik, merayu tanpa kelihatan menggombal dan segala tetek bengek yang berhubungan dengan wanita khususnya mahasiswi dan pada akhirnya cara menundukkan hati mereka.
Katanya, “ Pokoknya San, kunci utamanya percaya diri! Kamu harus punya itu! Lain – lainnya akan muncul dengan sendirinya.”
Ya, percaya diri! Rupanya itu modal yang belum aku punya dan itu jawaban dari pertanyaanku selama ini.

Kenyataannya memang kunci yang diberikan temanku Eko sangat manjur adanya, karena dengan modal itu aku sekarang lagi dekat dengan Ira, Sisca Irasanti nama lengkapnya, seorang gadis cantik, berkulit putih, semampai, pintar, ramah dan sexy, pokoknya semua kriteria yang ada di kepalaku tentang wanita idola calon pendamping wisudaku ada pada dia. Oh ya, Ira adalah seorang mahasiswi jurusan sastra Jepang di sebuah Sekolah Tinggi Bahasa di kota B ini. Dengan adanya Ira walaupun belum resmi jadi pacarku rasanya hari – hariku jadi cerah, semangat belajarku menggebu, aku jadi rajin memperhatikan segala sesuatu yang berhubungan dengannya : warna kesukaannya, baju, sepatu, tas, model rambutnya dan sebagainya, aku juga jadi rajin membaca tentang hal – hal yang berhubungan dengan obyek studinya “Jepang dan bahasanya” juga yang berhubungan dengan hobinya olahraga tenis lapangan. Satu hal yang menyiksaku adalah aku jadi tambah susah tidur, karena aku selalu pingin cepat – cepat pagi agar aku bisa bertemu dengannya. Ah, cinta memang membuatku serasa terbang di awan sekaligus serasa bodoh…..

Sejalan dengan berjalannya waktu, hari ke hari semakin mendekatkan hubungan kami, pembicaraan telepon, obrolan – obrolan seputar hobi dan ide – ide kami serta pertemuan demi pertemuan semakin mengobarkan gelora asmaraku padanya, aku jadi sangat romantis dan melankolis kalau lagi ngebayangin dia dan kebersamaanku dengannya, mungkin lebih romantis dari film Gita Cinta Dari SMA atau Puspa Indah Taman Hatinya Rano Karno dan Yesy Gusman yang pernah aku tonton dulu, hanya masalahnya aku belum juga berani mengutarakan perasaan hatiku padanya. Jangankan untuk menyatakan cinta, menatap matanya secara langsung saja jantungku berdegup keras serasa mau lepas dari tempatnya….
“Tapi ini tidak boleh didiamkan, aku harus segera menyatakannya”, ucapku dalam hati.

Maka setelah kutimbang – timbang, kupikir – pikir, akhirnya kuputuskan hari Sabtu adalah waktu yang tepat untuk menyatakan perasaan cintaku padanya karena aku dan dia sama – sama tidak ada mata kuliah pada hari Sabtu dan dia juga mau meluangkan waktunya untukku di hari itu. Dengan bekal percaya diri dan rasa cinta yang membara akhirnya kuberanikan juga untuk mengungkapkan perasaan cintaku padanya, “ Ra, ehm… ehm.. boleh nggak aku ngomong sesuatu sama kamu?”
“Ya boleh lah, emang kamu mau ngomong apa? Lagian formil amat, kayak kita nggak pernah omong – omongan aja!”, tukasnya.
Jawabannya yang lugas langsung membuatku down dan terpaksa kunyalakan sebatang rokok yang sudah kusiapkan sebelumnya walaupun sebenarnya aku bukan perokok. Melihat aku merokok dia tersenyum seraya bertanya, “ Ada apa sih? Kok stress banget, penting banget ya?”.
“Nggak kok, aku cuma… cuma… aduh gimana ya ngomongnya… ?
“Aku baru sekali ini deh, ngeliat kamu kaya orang bodo gitu, mau ngomong aja susah, ada apa sih?”, tanyanya sekali lagi.
“Anu Ra, aku cuma.. pingin… pingin ngutarain perasaan sayangku padamu….”.
“ Aku pingin kita bisa jalan bareng lebih dari seorang teman…”. Begitu kata – kata itu meluncur dari bibirku lega sekali rasanya, lepas seluruh beban di hatiku.
“Oh itu?” ,ucapnya. “Gimana ya San…, aku sebenarnya juga simpati sama kamu…, cerita kita nyambung, ide – ide kita sejalan, tapi…. kayaknya kamu terlambat deh, soalnya saat ini aku sudah punya pacar yang sedang kuliah di Surabaya dan hubungan kami baik – baik saja… Jadi rasanya aku tidak punya alasan untuk memutuskan hubungan itu….”. Lanjutnya, “Tapi jangan kecil hati deh San, kita kan masih bisa berteman, lagian rasanya berteman itu lebih indah deh daripada pacaran…”. Byar!!! Hancur rasanya hatiku mendengar jawabannya dan dapat ditebak detik – detik selanjutnya adalah kehampaan rasa di hatiku dan padamnya semangat hidup yang akhir – akhir ini kurasakan begitu menyala – nyala, akhirnya hanya kebekuan yang ada di antara kami, sampai kuperoleh alasan yang tepat untuk pamit pulang.

Sejak penolakan itu dunia benar – benar terasa hampa dan gelap buatku, segala ilmu, nasihat dan dorongan semangat yang dipompakan Eko sahabatku seolah tiada arti lagi bagiku, segalanya jadi terasa menyesakkan. Aku jadi ingat sebuah kalimat yang aku pelajari saat belajar bahasa Indonesia di SD dulu “Saat kita sakit, makan serasa tidak enak, tidur tidak nyenyak dan dudukpun gelisah” begitulah pula rasanya kalau patah hati karena cinta ditolak. 3 bulan lamanya aku berusaha melupakan kejadian itu dan 3 bulan pula pengerjaan skripsiku terbengkelai, untunglah di saat – saat akhir meski tertatih aku bisa menyelesaikan skripsiku dan lulus ujian sarjanaku. Hingga akhirnya datanglah saat wisuda sarjanaku, saat – saat yang membahagiakanku, walau tanpa Ira disisiku….

Kamis, 18 September 2008

Kenangan Tentang Sahabatku.... (Bag. 2)

Dari sumber – sumber yang dapat kupercaya aku tahu kalau sakitnya Narto berawal dari rasa kecewa Narto yang sangat besar terutama sejak kegagalan niatnya untuk mengambil gelar S1 nya, ceritanya begini :

Sebagai penghargaan atas prestasi dan ketekunan Narto dalam bekerja sebagai staf bagian ekonomi di Pemda B terutama keberhasilannya membenahi kebobrokan beberapa koperasi di 3 kecamatan yang menjadi tanggung jawabnya maka atas inisiatif bosnya, pak Broto, Narto diusulkan untuk mendapat beasiswa dari Pemda untuk melanjutkan kuliahnya mengambil gelar S1, kebetulan saat usulan itu dibuat anggaran beasiswa Pemda B masih tersedia dan belum dimanfaatkan. Maka mudahlah ditebak kalau usulan itu berjalan mulus dan mendapat persetujuan. Dengan bekal persetujuan itu maka pergilah Narto ke kota Y untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kuliahnya itu, mulai dari pendaftaran, administrasi, buku – buku, tempat kos bahkan sampai sepeda motor butut untuk transportasi kuliahnya.

Karena saat persetujuan itu turun waktunya sangat mepet dengan pembukaan tahun ajaran baru di universitas U kota Y maka beasiswa yang seharusnya menjadi hak Narto belum dapat dicairkan, untuk itu atas saran pak Broto, Narto diminta untuk menggunakan uang pribadinya dahulu. Tanpa berpikir panjang saran itu Narto lakukan walaupun sebenarnya tabungan Narto masih sangat kurang untuk menutup semua biaya yang diperlukan, untuk itu Narto meminjamnya dari koperasi – koperasi yang ada di bawah binaannya, “Toh cuma sebentar saja, lagian kalau uang beasiswa itu turun aku akan segera kembalikan”, begitu pikirnya. Total jenderal ± Rp. 14 juta uang yang harus Narto keluarkan terlebih dahulu untuk membiayai kuliahnya.

Waktu berlalu dan mulailah masa perkuliahan yang harus Narto jalani, tapi seiring dengan bergantinya waktu setiap Narto menanyakan uang beasiswanya, nanti, nanti dan nanti adalah jawaban yang selalu Narto dengar. Selidik punya selidik ternyata uang beasiswa itu sudah dialokasikan untuk Gino, pegawai baru Pemda B yang konon kabarnya adalah keponakan pak Broto, bos Narto.
Dar….!!! Duniapun bergetarlah seiring dengan tenggelamnya Narto dalam gemuruh gulungan ombak penindasan dan kesewenang – wenangan penguasa, sekecil apapun kekuasan yang dimilikinya.

Sejak pertemuanku dengan Narto di bulan September itu aku jadi rajin lagi memonitor perkembangan kesehatan Narto sekaligus kugunakan untuk mengembalikan semangat hidupnya karena aku yakin kalau penyebab utama sakitnya Narto adalah faktor kejiwaan Narto yang mengalami shock, komunikasi dengannya kulakukan melalui telpon dan sms selain informasi yang kudapat dari keluarga dan teman – temanku yang ada di kota B. Kesempatan ini juga kulalukan untuk menggalang solidaritas di antara kawan – kawan kami yang tersebar di kota – kota lain untuk sedikit meringankan beban Narto. Melalui temanku Rizal dan Hadi dana solidaritas berhasil kami kumpulkan dan itu digunakan untuk membantu pembiayaan pengobatan Narto selanjutnya.

Alhamdulillah beberapa bulan kemudian berita yang kudapat mengabarkan kalau Narto sedikit demi sedikit sudah mulai kembali seperti sediakala, bahkan beberapa minggu yang lalu dia kembali mencambangi orang tuaku untuk bersilahturahmi dan bercerita – cerita tentang pengalamannya, sesuatu yang sudah lama tidak dilakukannya. Betapa gembiranya aku mendengarnya terlebih lagi ketika kuterima suratnya yang juga dikirimnya kepada kawan – kawanku lainnya seperti Rizal, Hadi, Eko, Bima, Indi, Ipong dan masih banyak lagi yang isinya ucapan terima kasih atas bantuan yang sudah diterimanya, keiklasan atas suratan nasib yang harus diterimanya, kembali bekerjanya dia seperti sediakala dan yang lebih utama lagi dia menginginkan jalinan solidaritas yang sudah terbentuk di antara kami lebih dikokohkan dalam suatu wadah yang dia sendiri menyanggupi untuk mengelolanya, luar biasa….! Aku sudah menemukan kembali temanku Narto, temanku yang pernah kukenal, Narto yang memiliki gairah hidup….

Dan pada suatu dini hari, saat aku masih terlelap kelelahan di kamar sebuah hotel dalam rangka tugasku di kota P , ring tone hand phoneku berbunyi beberapa kali, dengan malas kulihat panggilan yang masuk, ternyata dari Narto! Segera kubatalkan panggilannya dan aku yang akan menelpon dia balik karena aku masih lebih ikhlas membayar biaya pulsa daripada harus membayar biaya roaming (waktu tulisan ini dibuat, roaming masih jadi komponen biaya di telepon seluler). Tapi sebelum kutelpon dia, ternyata sudah ada sms darinya yang isinya : “Bangun, segera sholat biar Allah meringankan semua langkahmu”, aku tersenyum membacanya, bisa juga dia mengingatkanku untuk sholat walaupun dia seorang Katolik yang taat. Karena waktu Subuh di kota P masih belum masuk maka segera kutelpon balik Narto pingin tahu apa keperluannya nelpon aku dini hari seperti ini.

“Halo To, gimana kabarmu, kamu lagi dimana kok malam – malam gini nelpon, ada yang penting?”, berondongku.
“Penting banget San! aku sekarang lagi di kota S, di rumah Rizal, pokoknya besok pagi – pagi benar kamu langsung ke bandara, ambil penerbangan pertama ke J langsung dikonekkan ke kota S, aku perlu kamu jam 10 pagi untuk menghadap pak gubernur, untuk presentasi tentang peta digital keahlianmu!”, jawabnya bertubi – tubi.
“Wah kalau besok pagi aku nggak bisa, aku masih dinas di P, lagian sekarang lagi musim liburan sekolah, peak season! Nggak gampang cari tiket!” sanggahku.
“Tapi ini penting, San! Kalau gitu ntar aku hubungi pegawai sekretariat kantor gubernur untuk menunda pertemuannya!” katanya lagi.
Mendengar kata – katanya aku tercenung… apa semudah itu mengatur waktu seorang gubernur? Tapi aku teruskan pembicaraan telpon itu.
“Wah, tetap aku nggak bisa To, gini aja kamu teruskan rencanamu, aku akan back up dari belakang gimana?” usulku.
“Berapa gajimu disana sih San? Udah kamu ikut aku aja! Ntar kunaikkan gajimu Rp. 500 ribu…” katanya di ujung sana.
Terkejut aku mendengar kata – katanya, tapi aku masih bisa tahan kemarahanku mendengar kata – katanya yang tidak biasa dan cenderung melecehkanku itu.
“Ha…ha…ha…” tawaku pahit, lanjutku sekenanya, “aku sekarang sedang ditawari pindah kerja di perusahaan besar dengan tambahan gaji jauh lebih besar dari Rp. 500 ribu aja aku masih belum mau kok kamu cuma nambahin segitu..”
“Tapi ini bagus untuk masa depanmu, San! Apalagi kalau nanti aku jadi bupati B pasti kamu akan kubuat makmur”, sahutnya.

Semakin lari kesana – kemari kata – katanya dan aku semakin tak mengerti apa yang sedang terjadi dengannya. Karena selama aku kenal Narto dia tidak pernah berkata – kata yang mengarah ke arah pongah dan sombong seperti yang barusan kudengar. Akhirnya setelah lebih dari 20 menit pembicaraan tak menentu itu aku berhasil menghentikannya dengan alasan akan sholat Subuh. Seusai sholat kuhubungi Rizal dan kutanyakan tentang keadaan Narto di rumahnya. Dari Rizal aku tahu kalau Narto ke kota S hanya dengan selembar baju yang menempel di tubuhnya, tanpa uang sepeserpun dan katanya akan menemui pak gubernur untuk membicarakan proyek pemetaan digital kota B yang belum jelas ada tidaknya proyek itu. Bahkan seperti juga aku, Rizal juga disuruhnya berhenti dari pekerjaannya. Lebih jauh Rizal mengatakan kalau semalam suntuk Narto tidak tidur dan hanya mencericau tentang angan – angannya ketemu pak gubernur, hayalannya untuk jadi orang kaya dan menguasai dunia, keinginannya untuk membalas sakit hatinya pada orang yang telah merampas beasiswa kuliahnya dan yang utama hasratnya untuk membalas dendam, dendamnya pada kemiskinan dan orang – orang yang diingatnya pernah mendzoliminya di masa lalu. Masya Allah!!! Lemas aku mendengarnya…. Dan beberapa hari kemudian sepulangnya dari kota P aku mendapat kabar kalau Narto oleh kantor dan teman – temannya dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa…..

Dan sekarang 4 tahun kemudian, ketika aku posting tulisan ini ke Blogku, Narto sudah benar – benar pergi meninggalkanku, meninggalkan kami semua… Ya dia pergi menghadap ke haribaanNya 2,5 tahun yang lalu. Dia pergi karena digerogoti penyakit aneh yang dideritanya. Selamat jalan kawan, Semoga Tuhan melapangkan jalanmu di sana…….

Senin, 15 September 2008

Kenangan Tentang Sahabatku.... (Bag. 1)

Tulisan ini kudedikasikan untuk sahabatku (Alm) Yohanes Suminardi,
"Yo..., kebersamaan yang pernah kita alami bersama, adalah salah satu puncak pembelajaranku dalam memahami arti kata persahabatan"

Sunarto

Kota tempat aku dilahirkan adalah sebuah kota kabupaten, di ujung selatan – barat sebuah propinsi yang ada di tengah – tengah pulau Jawa, di tepi samudra Indonesia, kota ini adalah ibukota dari sebuah kabupaten yang memiliki areal cukup luas dan bervariasi pemanfaatannya, mulai dari berbagai industri besar bernilai investasi sangat tinggi, industri rumah tangga berskala kecil sampai besar, perdagangan, transportasi darat – laut - udara, pertanian rakyat, perkebunan tanaman keras, perikanan laut dan sungai dan masih banyak lagi sampai lokasi pembuangan orang – orang yang oleh negara dan masyarakat dicap sebagai pendosa alias narapidana. Ya! Di diseberang lautan sana yang masih masuk dalam wilayah kabupaten B ada sebuah pulau, pulau K namanya yang cukup seram reputasinya karena merupakan lokasi dari beberapa LP kelas satu di negeri ini tempat para narapidana kelas kakap menghabiskan hari – harinya. Tapi alangkah baiknya kalau aku tidak berpanjang lebar menulis tentang LP – LP yang ada di kabupaten tempatku dilahirkan karena selain aku tidak cukup menguasai masalah itu juga karena menurutku ada sebuah masalah yang lebih penting yang ingin kuceritakan disini.

Sebenarnya perhubunganku dengan kotaku ini bisa dikatakan sudah tidak terlalu intens lagi karena sudah hampir 16 tahun lalu aku sudah tidak menetap lagi disana, itu karena selepas SMP kedua orang tuaku sudah mengirimku bersekolah di luar kota hingga akhirnya sampai aku lulus sekolah, bekerja dan berumah tangga pun aku sudah terlepas dari denyut nadi kehidupan kotaku. Satu – satunya penghubungku hanya karena orang tuaku dan dinasti keluarga besarku masih menetap di sana dan beberapa gelintir teman – teman masa laluku yang masih berhubungan denganku, salah satunya adalah Narto, Sunarto nama lengkapnya, sahabat masa kecilku hingga saat ini. Nartolah yang akan kujadikan sebagai subyek dari ceritaku ini.

Jika datang ke kotaku dengan menaiki kendaraan umum dari luar kota cukuplah berhenti di terminal bis, dari terminal berjalanlah melintasi jalan L sejauh ± 700 m ke arah timur maka disebelah kiri jalan kita akan temui sebuah papan bertuliskan “Warung Sekoteng” itu tandanya kita sudah menemui rumah dari orang yang kumaksudkan dalam tulisan ini, rumah Narto, rumah sahabatku. Tapi bagi orang yang sudah kenal dengan kota B dan rute bis – bis yang datang dari luar kota untuk menuju rumah Narto tidak perlu turun di terminal karena rumah Narto sendiri dilewati bis – bis itu. Sedang rumah orang tuaku, tempat aku menghabiskan masa kecilku terletak di jalan B yang jaraknya ± 800 m ke arah timur – selatan dari rumah Narto.

Persahabatanku dengan Narto dimulai saat kami sama – sama duduk di kelas dua SMP, ya! kami belajar di sekolah yang sama dan kelas yang sama yaitu kelas IIB SMP Anggrek, sebuah SMP yang pada saat itu bisa dikatakan terbaik di kotaku. Rumah yang berdekatan, sekolah yang sama, sama – sama bersepeda ketika berangkat dan pulang sekolah dan sudah barang tentu route yang sama maka kloplah kalau kemudian aku dan Narto jadi sering menghabiskan waktu bersama. Yang kuingat saat itu di halaman depan rumah Narto ada 3 pohon jambu air, satu pohon jambu air warna merah dan dua pohon jambu air warna putih yang buahnya manis – manis dan hampir sepanjang tahun berbuah, daya tarik itu merupakan magnet utamaku untuk lebih sering menghabiskan waktu bermain di rumah Narto.

Tentang warung sekoteng yang jadi cap rumah Narto sampai saat ini pun aku mengetahui asal usulnya. Ini bermula dari pemikiran ibu Narto untuk mencari tambahan penghasilan setelah ayah Narto meninggal karena sakit, uang pensiun janda seorang pegawai rendahan seperti yang setiap bulan diterima ibu Narto pasti tidaklah cukup untuk menghidupi dan menyekolahkan Narto dan dua orang adiknya. Oh ya Narto punya dua orang adik, seorang lelaki Untung namanya dan si bungsu perempuan Lina namanya. Jarak umur antara Narto dan kedua adiknya tidaklah terlalu jauh menurut pengamatanku. Dengan warung itu setiap malam kecuali Minggu malam, mulai dari sehabis magrib sampai kurang lebih jam sepuluh malam keluarga Narto bekerja mencari penghidupan, selain sekoteng mereka juga menyediakan kopi, teh, telor ayam kampung setengah matang, mendoan (makanan khas daerah kami berupa tempe dari bahan kedelei yang dibuat tipis dan lebar dan digoreng tidak terlalu kering dengan tepung yang dilengkapi dengan bumbu – bumbu secukupnya), pisang goreng dan tahu isi. Karena memang cita rasa yang mereka sajikan cukup enak ditambah situasi warungnya yang bersih dan keramah – tamahan keluarga Narto dalam melayani pembeli maka mudah diterka kalau warung itu menjadi sumber penghidupan yang layak dan langgeng untuk keluarga Narto hingga Narto bisa belajar sampai ke jenjang DIII sebuah universitas negeri di kota S demikian juga dengan kedua adiknya.

Warung itu pula yang menjadi markas berkumpul kawan – kawan Narto semasa SMP dan SMA untuk saling bercerita pengalaman masing – masing sambil saling bertukar informasi tak terkecuali aku kalau kebetulan sedang pulang liburan ke kotaku B. Bahkan sampai saat ini kalau segala sesuatunya berjalan normal aku yakin warung itu akan tetap jadi sumber informasi yang lengkap dan terpercaya untuk kami semua karena secara kebetulan Narto diterima sebagai pegawai negeri sipil di Pemda kabupaten B, kota kami, yang berarti Narto akan kembali menetap di kota B setelah sebelumnya sempat meninggalkannya untuk belajar di kota S selama 3 tahun.

Hampir lima tahun sudah Narto mengabdikan dirinya sebagai pegawai di jajaran Pemda kabupaten B dan semuanya berjalan lancar kecuali komunikasi kami yang mulai agak tersendat karena kesibukanku bekerja dan mengurus rumah tangga yang baru dua tahun ini kubangun dengan wanita pilihanku, namun demikian kabar tentang Narto tetap aku dengar dari cerita – cerita orang tuaku termasuk rencana Narto untuk melanjutkan kuliah di kota Y guna melengkapi kesarjanaan S1 nya. Hingga pada bulan September tahun lalu aku mendapat penugasan dari perusahaanku untuk melakukan suatu pekerjaan di kotaku B. Kesempatan ini sudah barang tentu kumanfaatkan untuk pulang ke rumah orang tuaku dan juga untuk menemui Narto, sahabatku. Tapi….. Betapa terpananya aku…. Waktu kudatangi rumahnya yang kutemui adalah Narto yang benar – benar lain dari Narto yang selalu ada di pikiranku : Narto yang berbadan tegap berisi dengan bola mata yang berpendar – pendar memancarkan gairah hidup di usia 32 tahunnya dan Narto yang tertawa gembira menyambut kedatangan sahabat lamanya seperti yang selalu kualami sebelum – sebelumnya. Tapi kini…. Aku menemui Narto yang kurus kering, loyo, berwajah layu, berbola mata tanpa semangat dan sering terbatuk - batuk.
“To, apa yang terjadi denganmu?”
“Entahlah San, yang jelas aku punya penyakit yang aneh….”, jawabnya.
“Aneh gimana maksudmu, To?” tanyaku.
“Ya aneh! Wong aku sudah berobat kemana – mana nggak sembuh – sembuh! Ke dokter ini, ke dokter itu, ke tabib, sinshe, orang pinter, di kota sini, kota sana… nggak ada yang bisa njelasin apa sebenarnya penyakitku! Ada yang bilang lever, batu ginjal, jantung dan penyakit – penyakit serem lainnya, tapi nggak ada yang jelas dan bikin aku sembuh…. Aku putus asa San…” ucapnya melemah dan kulihat ada butiran air matanya menetes dari kelopak matanya… Narto menangis! Sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
“Gini aja To, kamu tetap usaha berobat semampumu, nanti aku coba kirim obat yang cukup manjur dari Amerika dari jalur bosku, siapa tahu cocok buatmu, kebetulan kemarin berkat obat itu ibuku yang harusnya dioperasi tumor jadi nggak dioperasi karena tumornya hilang pelan - pelan!” janjiku.
“Tapi harganya mahal San, kamu kan tahu ekonomiku…” sanggahnya tak bersemangat.
“Pokoknya tenang aja lah To! kamu nggak usah mikir biayanya, biar aku usahain semampuku..” kataku. “Pokoknya yang penting kamu harus tabah dan tetap bersemangat, kamu harus bisa mengalahkan penyakitmu, wong calon bupati kota B kok kalah sama penyakit…”, lanjutku untuk memompa semangatnya, ya memang kami sering berkelakar bahwa Nartolah nantinya yang paling cocok jadi bupati kota kami biar kami teman – temannya kecipratan makmur.
“Terima kasih San” jawabnya sedikit bergairah, “Doakan aku cepat sembuh..”
Dan akhirnya kami tenggelam dengan percakapan kami yang lain walaupun tak lama kemudian aku pamit pulang untuk mempersiapkan pekerjaanku juga karena aku tidak ingin mengganggu istirahat Narto.

Bersambung....



Selamat Membaca Semoga Berkesan....