Kamis, 29 Mei 2008

Haji Hasan

Perkenalanku dengan pak haji ini terjadi dua tahun yang lalu, tepatnya saat aku berniat untuk melaksanakan Aqiqah anakku Bima. Demi kepraktisan dan keinginan untuk dapat melaksanakan prosesi aqiqah tersebut dengan baik, aku dikenalkan dengan pak Hasan oleh salah seorang temanku yang kebetulan juga sudah pernah melaksanakan aqiqah di panti asuhan yang dikelolanya.

Haji Hasan adalah seorang yang mengabdikan hampir sebagian besar hidupnya untuk berdakwah. Dakwah yang ditempuhnya dengan cara mendirikan panti asuhan dan lembaga pendidikan, yang dikelola dan dibiayai secara sangat sederhana melalui yayasan yang didirikannya dan keluarganya…

Saat itu ada sekitar 200 anak yang menggantungkan hidup dan masa depannya di pundak Bapak dan Ibu Hasan ini. Selain dari sumbangan para donatur yang bersifat sukarela dan tidak mengikat, pembiayaan juga dilakukan dengan sistem subsidi silang, yaitu dari anak – anak yang bersekolah di tempatnya dan mampu membayar sedikit lebih. Untuk kemudian sedikit kelebihan itu dialokasikannya untuk membiayai anak – anak yang kurang mampu. Sebuah skema pembelajaran tentang konsep saling berbagi yang sederhana tapi sulit diaplikasikan dalam kehidupan kita…

Namun aku tidak ingin menulis panjang lebar tentang pak haji ini, karena aku ingin menulis tentang satu pernyataannya saat kami bertukar pikiran tentang pernak – pernik kehidupan ini. Pernyataan itu yang membuat aku shock dan malu pada diriku sendiri….

Begini ceritanya, saat kami asyik berbicara sambil menyeruput secangkir kopi yang dihidangkan istrinya, dia bercerita tentang kebiasaannya setiap lepas sholat Subuh sampai matahari terbit. Kebiasaan itu adalah mempelajari Al Qur’an dengan teliti dan hati – hati…

Ya, mempelajari Al Qur’an!!! Selanjutnya dikatakannya karena di dalam Al Qur’an sudah terkandung secara lengkap ilmu dunia dan ilmu akhirat, “Jika kamu ingin dunia maupun akhirat, galilah ilmunya di dalam Al Qur’an…, pahamilah makna tersurat dan tersirat yang ada di dalamnya….” begitu tuturnya. Orang – orang barat dapat lebih maju dari orang muslim karena secara langsung maupun tidak langsung mereka lebih dalam mempelajari dan memahami kandungan Al Qur’an melalui teks - teks yang mereka pelajari, sedang kita??? orang muslim…. lebih banyak yang hanya jalan di tempat untuk sekedar membacanya saja, tanpa berusaha menggali maknanya…. Dan yang lebih parah, lebih banyak lagi yang hanya menyimpannya di almari…..

Bam….!!! serasa ada beban berat yang tiba – tiba menghimpit tubuhku, ketika aku dengar kata – kata itu….Beban yang datang karena rasa malu pada diriku sendiri… Ya!! malu pada diriku sendiri…! Karena selama ini aku cuma sampai pada tataran membaca, tanpa pernah berusaha untuk memahami maknanya…. Makna tersurat dan tersirat yang terkandung di dalamnya….

Sepulang dari rumahnya, ada seribu tekad yang kubulatkan dalam hatiku… tekad untuk mempelajari karunia Allah yang ada dihadapanku dengan lebih baik lagi, secara rutin dan teliti, seperti yang sudah dilakukan pak Haji itu…

Bagaimana dengan anda…????

Jumat, 16 Mei 2008

Arti Sebuah Kesederhanaan…..

Tulisan ini ingin aku dedikasikan untuk (almarhum) Bapak…
Yang dari beliau aku belajar tentang arti sebuah makna, ‘sederhana…..’
Bapak…. dirimu memang telah lama pergi, lebih 14 tahun yang lalu…
Tapi kenangan tentangmu…..bayangan sosokmu….. tetap ada di hatiku, di hati ibu, di hati mbak Luky dan dek Pipit, di hati kami semua, orang – orang yang dekat denganmu….. doa kami untukmu, akan selalu bergema di hati…..sampai kami menyusulmu….

Posting ini mungkin agak lain dari tulisan – tulisan yang pernah aku posting sebelumnya, kalau sebelumnya aku lebih ingin menulis tentang realitas yang kutemui sehari – hari di sekitarku, di tulisan ini aku ingin menulis tentang kenangan indah yang ada di benakku dan aku juga yakin, ada di benak ibu dan kedua saudaraku, kenangan tentang (almarhum) bapakku, pendamping ibuku, bapak kami bertiga…. Namun ada intisari yang ingin aku ungkap disini, yaitu tentang arti sebuah kesederhanaan…. Tentunya sebatas kemampuanku memahami dan mengungkapkannya….

Bapak dipanggil keharibaanNya saat aku berumur 21 tahun, saat aku masih kuliah tingkat II dan belum bisa berbuat apa – apa, selain belajar…. itupun masih malas – malasan….Saat itu aku merasa dunia jadi gulita, hanya hampa yang terasa di hati…..
Waktu itu, bayangan yang ada di anganku, hanya sebuah rumah tua, yang tiang utamanya telah roboh…..

Namun sang waktu harus tetap berputar, kehidupan harus tetap berjalan, siang dan malam harus tetap datang silih berganti, dengan atau tanpa bapak di sisiku, disisi kami berempat……

Sejalan dengan berlalunya waktu, kesadaran – kesadaran tentang nasihat dan perilaku bapakku semakin sering muncul di benakku, sesuatu yang dulu, saat beliau masih ada, seperti angin lalu saja bagiku…. Memang, aku (dan mungkin kita???) kadang sering terlambat memahami sesuatu pada waktu yang seharusnya, sehingga hanya penyesalan di akhir cerita yang akan kita temui…..

Dulu, di masa hidupnya, kesenangan bapak hanya olahraga dan makan enak (enak dalam versi kami, orang kampung yang hidup pas – pasan : tempe/tahu , sayur lodeh, sambal trasi dan kadang – kadang ikan atau daging…..). Seluruh hidupnya dibaktikan untuk membahagiakan anak istrinya, baju yang dimilikinya bisa dihitung dengan jari, apalagi sepatu… mungkin tak ada dipikirannya untuk memiliki sepatu lebih dari satu pasang…….Kata - kata yang selalu terngiang – ngiang di telingaku adalah, “Nak, bapak dan ibu hanya bisa membekali hidupmu dengan ilmu, karena kami tak punya harta untuk dibagi…. manfaatkanlah kesempatan yang kami usahakan untukmu sebaik – baiknya, belajarlah dengan tekun dan hidup rukunlah dengan saudaramu…..” Ya… kata – kata itu masih terngiang jelas di telingaku, seolah baru kemarin aku mendengarnya…..

Saat itu senyum dan sapa selalu melekat di kesehariannya, sehingga hampir semua orang di kampungku dan sepanjang perjalanannya dari rumah ke kantor mengenalnya, walau mungkin hanya sebatas tegur sapa….

Dalam hidupnya, Bapak tidak memiliki dompet dan jarang memegang uang, beliau hanya punya tempat yang menyerupai dompet untuk menyimpan SIM dan STNK kendaraannya. Seluruh gaji yang diperolehnya diserahkan semuanya pada ibu, ya…. bapak mempercayakan sepenuhnya keuangan keluarga pada ibu….

Satu perilaku sederhana (yang menurutku mulia), yang baru sepenuhnya kusadari setelah kepergiannya adalah sopan santun dalam segala tindak – tanduknya, salah satu contohnya adalah tidak pernah sekalipun dalam hidupnya, aku menemui bapak duduk (walau sedang santai) sambil mengangkat salah satu kaki untuk ditumpangkan di kaki lainnya (Jawa = Jegang). Sementara aku......?????

Kesederhanaannya dalam menjalani hidup, dan mungkin dalam berpikir untuk menyiasati masalah kehidupan, seolah menggambarkan menyatunya kesederhanaan jiwa dan raganya. Beliau pasrah (Jawa : Sumeleh) atas takdir yang harus dijalaninya, yang ditunjukkan dengan keiklasannya bekerja keras untuk menghidupi keluarganya….

Saat memasuki masa pensiun, Bapak membuat kandang ayam yang direncanakan untuk mengisi hari – hari barunya sekaligus untuk mencari sumber ekonomi baru. Di depan kandang – kandang yang baru dibuat, Bapak berdoa dengan menggumam , “Ya Allah, ijinkahlah Engkau memberi aku umur panjang, agar aku bisa melihat anak – anakku menyelesaikan sekolahnya, agar aku bisa melihat mereka jadi orang…..” Gumaman itu aku dengar dari cerita ibu setelah bapak pergi untuk selamanya…

Tapi doa itu tak pernah dikabulkanNya, karena Dia punya rencana lain untuk bapak….. Sebulan kemudian, saat bapak sedang menaiki sepeda kesayangannya… stroke datang menyapa bapak……dan cuma perlu waktu sepuluh hari untuk mengantar bapak keharibaanNya, sebuah proses kepergian yang sederhana……………….

Selamat jalan Bapak….. setidaknya kami sudah bisa menggunakan bekal yang engkau berikan untuk mengarungi rimba kehidupan ini…. Doa kami untukmu, akan selalu bergema di hati…..sampai kami menyusulmu….

Selasa, 06 Mei 2008

Cobaan atau Hukuman????

Di era millenium ini, kecanggihan seolah mengelilingi kita dari segala sisi. Mulai dari kecanggihan teknologi informasi, kecanggihan pelayanan publik, kecanggihan dalam bekerja maupun berbisnis, kecanggihan bla...bla... bla... , sampai kecanggihan manusia dalam mengelola masalah yang dihadapinya...

Salah satu hal yang selalu dihadapi manusia secara silih berganti adalah masalah - masalah kehidupan, seperti : sakit, kena bencana alam, bercerai, nggak punya duit, kena PHK, berantem, kecopetan, tersangkut kasus korupsi, digunjing orang, diberitakan kurang baik di lingkungan sekitar bahkan sampai masuk koran, radio atau TV. Dan masih banyak lagi lainnya....

Dari beberapa hal yang ditulis di atas, yang kadang menggelitik aku adalah : hampir semua orang yang kena masalah itu selalu mengatakan "Saya sedang kena musibah, dapat cobaan dariNYA". Benar memang..... musibah sedang menimpa kita, karena kita kehilangan kesehatan (untuk sementara), kehilangan harta benda, kehilangan orang yang kita sayangi, kehilangan pekerjaan bahkan mungkin kehilangan harga diri....

Namun ada pertanyaan kritis yang perlu kita renungkan bersama, yaitu : benarkah itu cobaan dariNya??? Karena kadang - kadang sakit itu datang karena pola hidup kita yang bohemian, banjir dan tanah longsor itu terjadi karena keserakahan dan kebodohan kita dalam mengelola alam, kecopetan itu terjadi karena kecerobohan kita naruh dompet di saku belakang, perceraian itu datang karena memang ada perselingkuhan, hidup di balik jeruji dialami karena terbukti korupsi......

Kalau beranjak dari pola pikir di atas, tidakkah rasa malu datang mengusik, jika apa - apa yang terjadi selalu saja kata cobaan dariNYA kita jadikan alasan penyebab??? Bukankah di kitab suci juga disebutkan bahwa segala perbuatan yang dilakukan manusia akan dikembalikan (pertanggungjawabannya) pada manusia itu sendiri????

Mungkin ada baiknya, mulai saat ini saya sendiri dan mungkin juga anda (kalau berkenan....) mulai berpikir tentang arti kata cobaan dariNYA...
Jangan - jangan hal - hal yang tidak mengenakkan (bisa juga hal buruk) yang terjadi pada hidup kita bukanlah cobaan dariNYA tetapi malahan hukuman dariNYA atas perilaku buruk kita di dunia ini.... Wallahualam.

Antara Hitam, Putih dan Abu - Abu

Dalam hidup ini, warna dapat dijadikan analogi atas situasi perasaan hati manusia. Warna juga merupakan simbol atas perilaku manusia dalam menjalani hidupnya.... Salah satu simbol yang paling umum kita kenal adalah hitam, putih dan abu - abu..

Hitam sering diidentikkan dengan perilaku buruk yang dikerjakan manusia dalam kehidupan sehari - hari... Bisa itu malas beribadah, mencuri, merampok, menipu, memperkosa, korupsi, manipulasi, menggunduli hutan, buang sampah sembarangan atau bahkan sekedar menggunjing orang lain..... serta masih banyak perilaku angkara murka lainnya. Intinya perilaku yang menyimpang dari ajaran agama, yang merugikan manusia lain, yang merusak alam sekitar, yang mengganggu keseimbangan lingkungan dll sering dianalogikan dengan warna hitam.... Mungkin terlalu sempit definisi yang aku buat, tapi setidaknya itulah gambaran sederhananya atau mungkin gambaran yang sangat picik????

Putih diidentikkan dengan kebaikan, kejujuran, ketulusan, kesucian hati, keinginan untuk selalu berbagi, bertanggungjawab dll, biasanya perilaku ini menyertai orang - orang yang hidupnya lurus - lurus saja, yang ibadahnya kepada Yang di Atas Sana benar - benar tulus ikhlas... semata - mata karenaNya... Masih banyak nggak ya, orang seperti ini di jaman sekarang????

Tapi saya tidak ingin berpanjang lebar dengan hitam dan putih, karena itu terlalu mudah untuk dikenali.... Justru yang susah dikenali adalah perilaku manusia zona abu - abu...karena menurut pendapat saya dan juga pendapat beberapa orang yang pernah kudengar (benar tidaknya asumsi ini masih perlu diperdebatkan), zona abu - abu inilah yang paling mendominasi kehidupan ini... Ya.... zona abu - abu..... Di zona ini orang menggunakan kelebihan akal pikirannya untuk memutar balikkan fakta, kepandaiannya berbicara untuk memuntir kata - kata..... mengubah niat buruk yang ada di hati jadi seolah - olah perilaku suci (toh, isi hati orang tak ada yang tahu...). Di zona abu - abu ini aturan hukum yang ada jadi sasaran penafsiran yang bermacam - macam, yang kesemuanya didasarkan pada dalil kepentingan masing - masing... dan pembenaran diri atas perilaku masing - masing.

Di zona abu - abu ini, yang selalu akan jadi korban pertama adalah rakyat kecil yang segala akses kehidupannya serba terbatas (akses ekonomi, akses politik, akses pendidikan, akses pelayanan kesehatan, akses pelayanan umum dll). Dan itu mudah dimengerti, mengingat di jaman yang katanya modern ini, uang dan kekuasaan adalah panglima utama dari kehidupan. Sangat jarang kita dengar perseteruan antara si kaya dan si miskin keadilan berpihak pada si miskin.... Dari berita - berita yang sering kubaca di surat kabar atau kudengar di radio/TV, rasanya dominasi abu - abupun menyelimuti kehidupan di negara Indonesia tercinta ini.... benarkah ini???

Pertanyaanku untuk diriku sendiri (dan mungkin buat anda???) manakah pilihan warna hidup kita?? Hitam, Putih atau Abu - Abu?????? Rasanya hanya kita sendiri yang tahu jawabannya....



Selamat Membaca Semoga Berkesan....