Rabu, 10 Desember 2008

Ada Lafadz Allah di Darah Itu....



Tulisan ini sebenarnya sudah pernah aku posting Juni 2008 yang lalu, tapi karena waktu itu Blogku masih sepi pengunjung sehingga sangat sedikit yang baca tulisan ini, aku jadi ingin mempostingnya lagi, begini isi selengkapnya :

Aku pernah mendengar berita dari seorang sholeh yang aku temui. Beliau bercerita tentang informasi yang pernah dibacanya dari surat kabar. Berita tentang lafadz Allah yang tertera di sel darah manusia yang diamati dengan mikroskop yang canggih. Kurang begitu jelas ilmuwan siapa dan negara mana dia berasal.

Keimanan yang ada di hatiku sudah barang tentu menyakini informasi itu, bukankah di Al Qur’an juga disebutkan :”Kami lebih dekat padanya daripada urat lehernya,” hanya memang aku belum pernah melihatnya secara kasat mata …..

Nah, rupanya pada suatu waktu aku diberi kesempatan untuk melihat buktinya, walaupun dalam bentuk yang lain, bukti kebesaranNya, bukti yang menambah keimananku padaNya…. Dan semoga menambah keimanan anda semua yang membaca tulisanku ini….

Begini kisahnya…..
Empat tahun yang lalu, aku terpaksa harus terbaring di rumah sakit. Waktu itu HB (Haemoglobin) ku sudah drop sampai angka 6. Padahal HB normal orang dewasa sehat seumurku harusnya berada di angka 11 – 13, ada pendarahan di usus besarku….
Kata dokter yang merawatku, sebenarnya aku hampir terlambat dibawa ke rumah sakit, karena di HB yang cuma 6 napasku sudah tersengal – sengal, badanku sudah lemas dan sempoyongan, (mungkin) sebuah kondisi yang mendekati kematian…..

Kondisi itu menuntut dilakukan langkah penanganan cepat dan tepat. Bed rest total, obat, infus, pernapasanku harus pakai selang oksigen dan….. aku harus dapat transfusi darah!!

Transfusi darah!! ya, ini yang mengusik jiwaku, mengganggu pikiranku…. Terbersit ketakutan di otakku, tentang darah yang akan masuk ke tubuhku, darah siapa??? Mengandung virus HIV??? Hepatitis??? Atau virus penyakit menakutkan lainnya yang akan menulariku. Sejujurnya kutulis disini, bayangan itu menakutkanku….

Dan yang lebih fatal lagi, ada sebuah bayang – bayang ketakutan yang menambah bebanku….. Ketakutan kalau darah yang masuk ke tubuhku nanti bukan berasal dari orang yang seiman denganku….
Egois sekali aku!!! Sudah tak berdaya masih nawar macam – macam….

Memang….. ketakutan – ketakutan itu tampak naif dan serasa berlebihan…., karena apapun alasannya, teknologi kedokteran jaman sekarang sudah sangat maju, terlebih aku di rawat di rumah sakit yang cukup bagus di kotaku, oleh seorang dokter dengan jam terbang yang tinggi… Tapi, itulah fakta yang ada di pikiranku saat itu…

Ketakutan – ketakutan itu boleh terus membayangi jiwaku, tapi demi sebuah ikhtiar menuju kesembuhan, sebuah proses untuk memperpanjang kehidupan…Transfusi darah itu harus tetap dijalankan….

Transfusi itu serasa berjalan lambat dalam hitungan waktuku….Hitungan yang kulakukan seolah tertatih…, seiring dengan helaan napasku yang masih tersengal – sengal, di bawah belas kasihan selang oksigen yang membantu kehidupanku…

Kantong darah pertama…… lama berlalu, diselingi kantong cairan infus untuk membilas darah dari kantong pertama, kantong kedua pun masuklah. Dan proses itu kurasa mencekam dan lama berlalu….

Namun berkat dorongan semangat dari istriku, yang dengan setia menemaniku, (walaupun ada janin 6 bulan di rahimnya), semangat hidupku harus tetap dinyalakan. Ada seorang wanita setia dan seorang calon penerus generasiku yang masih memerlukan kehadiranku disisi mereka….. Ya ALLAH berikan aku kesembuhan..... Itulah doa yang selalu terngiang di hatiku saat itu..

Ketika kantong darah ketiga setetes demi setetes mulai memasuki tubuhku, dan tinggal menyisakan ± sepertiga isinya, seperti ada yang mengarahkan pandanganku untuk lebih seksama mengamati kantong itu, dan…. Masya Allah!!!! sisa darah yang menempel di kantong itu membentuk lafadz ALLAH….

Tidak yakin dengan pandanganku, kuminta istriku untuk mengamati kantong itu, kuminta suster yang merawatku untuk mengamatinya …. Dan semuanya takjub atas apa yang mereka lihat…..
Mengutip salah satu sequel dialog di novel ayat – ayat cinta yang terkenal itu, “ Allah sedang bicara padaku melalui penyakit yang diberikanNya padaku…. melalui transfusi darah yang masuk tubuhku…” ALLAHU AKBAR!!!

Dan selanjutnya, proses transfusi itu menjadi serasa ringan, proses pengobatan di rumah sakit bukan lagi suatu yang memberatkan dan jalan menuju kearah kesembuhan seolah terbuka lebar…..

Pada awalnya, saya ingin foto darah itu menjadi koleksi pribadi saya dan keluarga, tapi sejalan dengan berubahnya waktu saya ingin berbagi kepada anda semua, pembaca tulisan saya di BLOG ini… semoga bisa menambah keimanan kita semua….

Rabu, 26 November 2008

Puisinya A. Mustofa Bisri (Gus Mus)

Beberapa hari yang lalu, bongkar - bongkar almari buku, sekedar pingin baca - baca koleksi lama. Kebetulan ketemu buku "Bingkisan Pengantin" yang sebenarnya adalah souvenir pada syukuran pernikahan salah satu anaknya Gus Mus yang juga dijual untuk khalayak umum. Asyik ya, souvenir sebuah acara pernikahan adalah sebuah buku, mungkin bisa ditiru oleh sebagian dari kita sebagai salah satu upaya membudayakan kebiasaan membaca yang sedang digalakkan pemerintah. Isinya puisi - puisi nasihat perkawinan, yang salah satunya saya tampilkan di blog ini, sebagai bahan renungan kita bersama. Kepada Gus Mus, mohon ijinnya menampilkan puisinya disini....

KEPADA ANAKKU
Oleh : A. Mustofa Bisri

Anakku,
Seperti kata seorang pujangga, kau
bukan milikku
Kau adalah anak zamanmu
Seperti aku adalah anak zamanku
Tapi, anakku,
Kau bisa belajar dari zamanku
untuk membangun zamanmu
Kau bisa membuang sampah
zamanku
untuk membersihkan zamanmu
dan mengambil mutiara - mutiaranya
untuk memperindahnya.

Anakku,
Sejak zaman nenek- moyangmu
Kemerdekaan merupakan dambaan
Bersyukurlah kini
Kemerdekaan telah berada di
tanganmu
Kemerdekaan jika kau tahu
hakikatnya, anakku,
bisa membuatmu kuat dan liat
bisa membuatmu kreatif dan giat.
Kemerdekaan adalah pusakamu
paling keramat.

Tapi, anakku,
Apakah kau sudah bebar - benar
merdeka
Atau baru merasa merdeka?

Ketahuilah anakku,
Merdeka bukan berarti
boleh berbuat sekehendah hati-
Jika demikian tidak ada bedanya
antara merdeka dan anarki-
Karena kau tak bisa hidup sendiri
Begitu menabrak kemerdekaan pihak
lain
Kemerdekaanmu harus berhenti.

Ingatlah anakku,
Kau tak akan pernah benar - benar
merdeka
Sebelum kau mampu melepaskan diri
dari belenggu perbudakan oleh selain
Tuhanmu
termasuk penjajahan nafsumu sendiri
Jadilah hanya hamba Tuhanmu
Maka kau akan benar - benar merdeka
Dan menjadi tuan di bumi ini.

Anaku,
Sejak zaman nenek- moyangmu
Orang merdeka sekali pun
Tak mampu membangun kehidupan
Bila kebenaran dan keadilan tak
ditegakkan
Sedangkan kebenaran dan keadilan
tak pernah bisa ditegakkan
dengan kebencian.
Kebenaran dan keadilan
bagi kebahagiaan kehidupan
hanya dapat ditegakkan
dengan kasihsayang
karena kasihsayang, seperti
kemerdekaan,
berasal dari Tuhan
Dan kebencian, seperti belenggu,
berasal dari setan.
Anakku,
Ada seratus kasihsayang Tuhan
Satu di antaranya diturunkan ke bumi
dianugerahkan kepada mereka yang
Ia kehendaki
dan Ia kasihi termasuk induk kuda
yang sangat hati - hati
meletakkan kakinya takut menginjak
anaknya sendiri
Alhamdulillah aku dan ibumu
mendapatkannya
Karena itu kami mengasihi dan
menyayangimu.
Harapan dan doa kami, kau pun
mendapat bagian kasihsayang itu
untuk mengasihi dan menyayangi
suamimu,
anak - anakmu,
dan sesamamu,
Amin.

Indah banget kan puisinya? Anda punya komentar???

Selasa, 18 November 2008

Makna Pesan Itu…..

Sebuah pesan singkat masuk ke Hand Phoneku, isinya sebuah pesan dari layanan Al Qur’an seluler yang saat itu aku langganin. Bunyinya kira – kira begini :” Kesehatan, kekayaan dan segala kumudahannya adalah cobaan yang lebih berat daripada kemiskinan, penyakit ataupun kesusahan itu sendiri, karena saat kita miskin, sakit atau susah kita lebih cenderung untuk mengingatNya dibanding saat kita kaya, sehat atau saat menemui kemudahan .” Filosofi ini sering berseberangan dengan pandangan sebagian besar kita, yang sering tanpa sadar merasa bahwa orang yang sehat atau kaya (senang) adalah orang yang lebih disayang Tuhan dibanding orang – orang yang miskin maupun sakit (susah).

Berkaitan dengan pesan di atas aku langsung dapat pembuktiannya beberapa saat kemudian, begini ceritanya :

Sebagai orang yang bekerja dan tinggal di kebun, hari Sabtu adalah saat yang sangat ditunggu – tunggu, karena di hari Sabtulah datang kesempatan untuk pergi ke kota, kesempatan untuk bertemu keluarga dan meninggalkan (walau untuk sementara waktu) rutinitas dan kesunyian hidup di kebun. Saat aku terima sms itu, masih jam delapan pagi, masih harus menunggu lima jam lagi untuk bisa pergi ke kota. Jarak antara kebun dan kota memang hanya ± 60 Km saja, tetapi medan yang harus kutempuh adalah jalan tanah liat yang berbatu, yang masih agak susah untuk dilalui dengan sepeda motor, apalagi saat musim hujan.

Singkat cerita, sampailah waktu yang kutunggu - tunggu, jam dua belas siang, waktu untuk pulang ke kota… Tapi sayangnya hujan deras mengguyur semua areal perkebunan, itu artinya akan semakin susah dan melelahkan perjalananku ke kota. Karena guyuran hujan itu berarti jalan menjadi licin, becek dan lengket. Untuk pengendara sepeda motor sepertiku cuman ada beberapa pilihan ketika melakukan perjalanan dari kebun ke kota. Jika musim kemarau perjalananku akan ditemani dengan debu dan ancaman jatuh karena serakan batu (jika aku kurang berhati – hati dalam berkendara). Sedangkan jika musim hujan, pilihannya adalah roda sepeda motor Mega Proku akan lengket tak bisa berputar atau aku jatuh terjerebab karena licinnya tanah liat yang kulalui…. Namun demikian, pengalaman dan jam terbang selama 4 tahun telah mengajarkan kepadaku kiat – kiat untuk mengatasi hambatan itu.

Akhirnya dengan sangat berhati – hati, siraman hujan yang jadi penghalangku tetap kuterjang. Lengketnya lumpur kusiasati dengan melepas sayap roda depan dan mengikat tali pada beberapa bagian roda, sedangkan licinnya jalan dapat dijinakkan dengan berkendara secara waspada pada kecepatan rendah. Tidak lupa sepanjang perjalanan hatiku selalu berdoa kepadaNya mohon diberi keselamatan. Dengan metoda seperti itu selamatlah aku dari halangan terbesar yang ditimbulkan oleh siraman hujan, sehingga akhirnya tinggal jalan aspal beberapa kilometer yang tersisa sebelum sampai ke kota. Di jalan aspal itulah seolah aku sudah terbebas dari halangan besar yang menyulitkanku, kupacu sepeda motorku, sehingga tanpa sadar aku lupa untuk tetap berhati – hati dan berdoa kepadaNya, seperti yang sudah kulakukan beberapa waktu sebelumnya. Tiba – tiba…… Grubakkk!!!! Aku terjatuh dari sepeda motorku, tanpa aku tahu penyebabnya…. Rupanya rasa senangku yang berlebihan, telah membuatku lupa akan apa yang seharusnya tetap kulakukan ketika berkendara… hati – hati dan berdoa…

Saat aku masih terjerebab di aspal, dengan luka yang mulai kurasakan sakitnya, aku teringat dengan pesan singkat yang kuterima tadi pagi…. Seketika aku terhenyak, ketika kusadari kalau kejadian yang baru kualami adalah bukti kongkrit kebenaran isi pesan itu… Ya!! saat aku susah di jalan tanah yang licin, lengket dan becek, aku sangat berhati – hati dan selalu berdoa padaNya, tapi saat aku merasa mudah ketika berkendara di jalan aspal yang halus, aku terlupa untuk tetap berhati – hati, aku terlupa pada doaku padaNya…

Selasa, 11 November 2008

Seberapa Besar Kamar Mandi di Rumah Kita???

Ini sekedar pengalaman kecil yang aku temui beberapa tahun yang lalu. Sebuah usulan sederhana dari orang tuaku, saat aku diberi kesempatan olehNya untuk sedikit merenovasi rumah kecilku. Walau hanya sekedar usulan, namun kurasakan sebagai sebuah pendapat bijak yang sarat makna…

Usulan ini menyangkut ukuran kamar mandi yang akan dibuat, beliau mengusulkan agar kamar mandi yang akan dibangun ukurannya agak diperbesar, sehingga memungkinkan tubuh kita untuk berbaring di dalamnya dan itupun masih harus menyisakan sedikit ruang di dalamnya.

Waktu itu aku tidak sependapat dengan usulnya, bukankan akan menambah biaya? Lagipula ukuran lebih itu bisa dimanfaatkan untuk ruang lainnya? Ketidaksetujuanku akhirnya luluh setelah kudapat penjelasannya. Begini alasannya : “Kamar mandi itu fungsinya untuk membersihkan diri kita, nah itu juga harus bisa digunakan saat kita dimandikan nanti”. Lanjut beliau, “Jangan sampai terjadi, saat kita masih kidup, kita mandi di kamar mandi, tapi saat kita mati, kita dimandikan di halaman rumah yang ditutupi/dibatasi dengan kain.”

Aku begitu terkesima atas penjelasan itu….. sebuah usulan sederhana yang keluar dari sebuah kesadaran tinggi tentang hakikat perjalanan hidup manusia. Tanpa perlu berpikir dua kali, kulakukan apa yang jadi usulan beliau….

Sabtu, 08 November 2008

Sebuah Nasihat Dari Orang Bijak...

Ini sekedar tulisan atas sesuatu yang pernah aku dengar, yang kemudian aku renungkan dan kurasa perlu untuk diamalkan...
Sesuatu itu tentang kehidupan kita, orang - orang jaman sekarang (baca : modern), yang dalam kesehariannya cenderung terlalu sibuk menjalani rutinitas, sehingga kadang terlupa untuk mengingat tempat kita nanti akan dikuburkan, jika kita mati nanti...
Sesuatu itu ada di sekeliling kita, selalu kita injak - injak, tapi seolah kita takut untuk menyentuhnya secara langsung dengan telapak kaki kita, dengan kulit kita..
Fenomena itu dapat kita amati di kota - kota besar, di kompleks - kompleks perumahan juga di tempat publik lainnya. Ini terjadi karena orang jaman sekarang, cenderung menutup sisa halaman yang ada dengan paving blok, dengan tegel, atau minimal dengan semen, sehingga tidak ada tanah yang tersisa, walau hanya sejengkal untuk kita injak.
Kita seolah takut, kaki kita, kulit kita, jadi kotor jika menginjak atau menyentuhnya. Padahal ke dalam tanah, kita akan dikuburkan kelak. Jadi tak ada salahnya, jika pada sedikit waktu luang yang ada, kita sempatkan untuk menyentuhkan kulit kita pada tanah, sekedar untuk mengingatkan bahwa kesanalah nanti jasad kita akan kembali....

Selasa, 04 November 2008

Puisi Kado Pernikahan

Aku dapat puisi ini kurang lebih 4 tahun lalu, saat pernikahanku, kado dari kawan baikku "Dwi Rahmadi", yang dikirim via sms... Aku nggak tahu sumber aslinya dari mana, namun demikian aku perlu minta ijin pada pengarang aslinya untuk menampilkannya di Blog ini. Meski hanya beberapa rangkaian kata, namun isinya sarat makna dan akan sangat berarti sebagai bahan renungan para calon pengantin. Begini isinya :

Dalam simpuh aku berpeluh
oh.... Tuhan, sampaikan salam tuk
kekasih di rona haribaan
kemudian.

dalam tengadah aku berkesah
mencium wangi peraduan
di sela - sela senandung malam dan
gemerlap cahaya bintang.

dalam setiap desah dan helaan napas
aku menyimpan asa
semoga sebuah akad mulia
terisi bait ijabah sakinah,
mawadah dan warohmah.

Senin, 20 Oktober 2008

Tulisan Pak Dahlan Iskan

Tulisan ini kudapat dari milis, tulisan pak Dahlan Iskan, orang nomor 1 di Jawa Post Group, beliau menjelaskan dengan sangat gamblang krisis subprime di USA yang menyeret ke arah krisis ekonomi global dengan bahasa yang sederhana dan sangat mudah dimengerti. Mohon ijin pada pak Dahlan untuk menampilkannya di blog saya.

Krisis Subprime di Amerika Serikat, Kalau Langit Masih Kurang Tinggi
Oleh: Dahlan Iskan (owner Jawa Pos Group)

Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya''menceritakan' ' secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS saat ini. Seperti juga, banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit liver, meski mereka tahu saya bukan dokter. Saya coba:

Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya.

Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus terus meningkat.

Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.

Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding waktu mereka beli dulu: untung.
Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian banyak.

Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing putih, terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan seterusnya.

Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang bisa rugi?

Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target.Tanpa disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya.Mengapa? Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO.Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima paraCEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?

Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over.

Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan.

Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun. Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik.Pemerintah happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya.Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.

Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar didunia: USD 2 triliun!

Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan' ' perusahaan seperti itu dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.

Tapi, itu belum cukup.

Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak cukup lagi: harus computerized!

Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya.

Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli rumah?

Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada1980, pemerintah bikin keputusan yang disebut ''Deregulasi Kontrol Moneter''. Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian.

Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan secara nyata.

Begini ceritanya:Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja sepertiKPR, meski tidak sama).

Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.

Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage.Yang terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage.

Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup.Bank bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif.Juga para broker dan bisnis lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan.Maka, ada lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni, tahun 1986.

Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.

Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti diSwedia atau Denmark , gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen.Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin.

Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya.Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya.Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampirUSD 700 miliar setahun.

Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis.Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah.Dalam mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan Anda belum lunas.

Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet,rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.

Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman Brothers?

Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh''para pelaku bisnis keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba.

Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.

Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untukmembeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah punbisa mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi,tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.

Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras.

Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan.

Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ''bank jenis lain'' yang disebut investment banking.

Apakah investment banking itu bank?

Bukan. Ia perusahaan keuangan yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal:menerima macam-macam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidakpernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaandan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja:kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah''personal banking''.

Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yangmenawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana ,saya dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.

Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow.Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage,yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.

Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas.Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.

Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran.

Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita.Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.

Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyakorang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang berikutnya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu?Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5triliun dolar.

Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu,USD 700 miliar lagi?

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara Indonesia dijadikan satu.

Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang ''menabung'' - kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.

Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura, Hongkong, atau Tiongkok.

Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia.Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun,yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana . Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung.(*)

Perilaku Koruptif di Sekeliling Kita

Salah satu penyebab utama rusaknya negeri tercinta ini adalah korupsi, menurut berbagai referensi yang bisa kita baca di buku maupun media, korupsi bagaikan virus yang samar bahkan hampir tidak tampak proses kerjanya tapi menimbulkan efek kerusakan yang luar biasa dahsyat. Salah satu kerusakan terparah yang ditimbulkan dari korupsi ini adalah mental (baca : kondisi kejiwaan) dari sang pelaku, karena dia benar – benar sudah tertutup hatinya, sehingga menganggap hal buruk dan tercela yang dikerjakannya adalah suatu yang biasa dan halal hukumnya. Sudah barang tentu kerusakan – kerusakan lainnya adalah kerusakan yang bersifat fisik, karena program atau project pekerjaan yang dikorupsi kualitas maupun kuantitasnya menurun dari standar yang digariskan, mengingat dananya sudah disunat dari yang seharusnya. Namun aku tidak ingin berpanjang lebar menulis tentang teori korupsi, karena selain tidak menguasai secara dalam, juga ada hal lain yang bisa aku gambarkan dengan lebih jelas dengan tulisan ini.

Sangat banyak berita tentang kasus – kasus korupsi yang diekspos media masa saat ini, terutama setelah KPK terbentuk dan giat menunjukkan taringnya… Namun demikian, jika kita perhatikan, sebenarnya perilaku koruptif sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari – hari di sekitar kita, bahkan tanpa kita sadari kita sering jadi korban dari perilaku itu atau kita yang jadi pelakunya???

Begini liputan selengkapnya….

Saat mudik lebaran kemarin, kebetulan aku dan keluargaku menggunakan mobil sendiri sebagai moda transportasinya untuk menempuh jarak dari Pekanbaru (Riau) sampai Cilacap (Jawa Tengah), selain alasan mahalnya tiket pesawat yang tidak terbeli saat itu, juga sekaligus untuk tamasya keluarga di sepanjang perjalanan. Perjalanan ini melintasi propinsi Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sebuah perjalanan panjang yang melelahkan tapi juga mengasyikkan jika kita bisa menikmatinya…

Nah dalam rentang jarak ribuan kilometer itulah aku iseng – iseng mengamati perilaku koruptif di keseharian kita yang jarang kita sadari atau kita sadari tapi kita anggap tak ada. Aku yakin hal ini sering kita jumpai bersama di sekeliling kita, tapi sample yang aku dapat sungguh mengasyikkan, karena meliputi 7 propinsi di Indonesia. Sample itu adalah saat kita melakukan pengisian BBM di SPBU, karena dalam perjalanan kami ini, total jenderal ada 19 kali melakukan pengisian SPBU.

Di SPBU yang sudah mendapat sertifikasi dari Pertamina akan tertulis slogan :
“Tepat takarannya, tepat kembaliannya dan tepat pelayanannya”, nah pada kasus ini aku mengamati item tepat kembaliannya, karena disini perilaku koruptif yang paling mudah dilihat. Ini terutama buat konsumen yang mengisi BBM mobil atau motornya full tank. Modus operandinya adalah :
Petugas SPBU akan terus mengisi/mengalirkan BBM ketika tangki kendaraan sudah mulai penuh, walau angka rupiahnya sudah bulat, misal : Rp. 20.000, Rp. 100.000 atau lainnya. Tujuannya adalah agar nilai rupiah yang tertera di meteran mempunyai pecahan ratusan menjadi Rp. 20.300, Rp. 100.600 atau lainnya. Dengan dalih tidak ada uang kembalian sebesar Rp. 700 atau Rp. 400 seperti pada kasus di atas, konsumen “dipaksa” membayar dengan pembulatan ke atas menjadi Rp. 21.000 atau Rp. 101.000.

Perilaku di atas ternyata seolah – olah sudah menjadi trend dan dianggap biasa di hampir semua SPBU yang kusinggahi. Hal itu tentunya merupakan suatu perilaku koruptif yang terang – terangan dan sangat merugikan konsumen. Nilainya memang tidak seberapa untuk tiap – tiap konsumen, tetapi coba kalikan berapa konsumen yang mengalami hal tersebut setiap harinya, setiap minggunya, setiap bulannya bahkan setiap tahunnya…. Pasti jumlahnya bukanlah sedikit. Mungkin cukup untuk membantu biaya berobat keluarga miskin atau membantu biaya sekolah anak – anak terlantar di suatu daerah.

Terlepas dari semua itu, mental dari pekerja – pekerja SPBU yang melakukan hal itu menjadi terlatih untuk tidak jujur dari hari ke hari, dan itu akan terbawa dalam pola keseharian hidup mereka…

Rasanya perlu ada langkah sistematis dari semua pihak untuk bisa mengatasi hal tersebut di atas, karena masih sangat banyak modus korupsi seperti tersebut di atas yang dilakukan di area – area lain di luar SPBU…. Anda punya jawabannya???

Rabu, 24 September 2008

Fenomena Pilkada Sumsel

Tanggal 4 September 2008 yang lalu, Sumatra Selatan mengadakan pemilihan kepala daerah (gubernur) secara langsung. Ini adalah pilkada langsung yang pertama di daerah itu. Pilkada ini akhirnya dimenangkan oleh pasangan Alex Noerdin - Edi Yusuf, setelah menang tipis atas pasangan Syahrial Oesman - Helmi Yahya. Walaupun hasil keputusan KPUD Sumsel mendapat tantangan berupa demo besar - besaran dari pendukung pasangan calon yang kalah, tapi itulah hasil dari sebuah proses demokrasi, yang harus disikapi secara bijaksana dan kepala dingin...

Aku tergelitik untuk sedikit menulis tentang hal ini mengingat fenomena pilihan antara 2 pasangan calo yang harus dipilih oleh masyarakat Sumsel, tentunya ini hanya sekedar pandangan pribadiku, yang hanya mendasarkan atas pengalamanku yang sering berkunjung ke Sumsel (khususnya di Muba), bargaul dengan teman - teman di sana dan membaca koran daerah Sumsel.... Jadi tidak bisa dijadikan untuk acuan apapun dan ditulis tanpa pretensi apapun...

Syahrial Oesman dikenal oleh masyarakat Sumsel sebagai gubernur sipil yang berhasil membangun dan membuat aman propinsi Sumatra Selatan. Alumni Universitas Sriwijaya ini memimpin Sumsel dalam periode 2003 - 2008. Dulu, sebelum pak Syahrial menjabat kesan angker selalu dirasakan oleh hampir sebagian besar orang non Sumsel jika berkunjung atau bahkan sekedar melintas propinsi Sumatra Selatan. Ini diperkuat dengan karakter masyarakat Sumsel yang memang 'keras'. Jadi harus hati - hati kalau ke sana.... Walaupun sesungguhnya sikap hati - hati harus tetap kita pelihara dimanapun kita berada. Selain aman, pak Syahrial juga berhasil membangun Sumsel dalam banyak bidang, seperti : pendidikan, kesehatan, pertanian, infrastruktur jalan, industri dll termasuk bidang olahraga yang ditandai dengan suksesnya PON XVII (???) di Sumsel dan Sriwijaya FC, klub sepakbola asal kota Palembang yang berhasil mendapat double winner di kancah sepakbola Indonesia. Singkatnya beliau termasuk pemimpin Sumsel yang berhasil....

Alex Noerdin adalah alumni ITB yang dikenal sebagai bupati kabupaten Musi Banyuasin (Muba) yang fenomenal. Saat ikut pilkada gubernur kemarin, dia belum lama menjabat untuk yang kedua kalinya sebagai Bupati Muba. Gebrakannya saat menjabat sungguh hebat kalau boleh dikatakan luar biasa. Pak Alex adalah bupati pelopor pendidikan dan berobat gratis di kabupaten Muba (mungkin yang pertama di Indonesia ???) dan program itu bisa dikatakan berhasil. Kabupaten Muba yang dulu terbelakang dan sangat tidak aman, ditangannya menjadi sangat maju dan relatif aman, jalan - jalan yang dahulu rusak dan banyak lubang jadi lebar dan teraspal licin, dan itu tembus sampai ke pelosok Muba. Sekolah di Muba dari SD sampai SMU gratis dengan gedung dan sarana pendidikan memadai, rumah sakit dan puskesmas tersedia dan relatif cukup merata di pelosok kabupaten, dengan layanan gratis. Selain itu iklim investasi juga relatif kondusif di sana, sehingga industri mulai dari migas sampai pertanian dapat operasional secara normal, sehingga geliat ekonomi di kabupaten ini benar - benar terasa denyutnya..... Singkat kata (sekali lagi menurut pandangan pribadiku...), pak Alex juga figur pemimpin yang berhasil dan dapat diandalkan....

Terlepas dari black campaign yang dilancarkan oleh kedua kubu tim sukses pada saat kampanye lalu, rakyat Sumsel dihadapkan pada dua pilihan yang sama - sama nyaman untuk dipilih. Mereka punya calon - calon pemimpin yang sudah teruji mampu memimpin dan berkomitmen penuh untuk membangun masyarakat dan daerah Sumsel. Jadi terlepas dari siapa yang menang dan siapa yang kalah, bersyukurlah saudara - saudaraku di Sumsel sana atas dua pilihan yang ada.... Gak perlu lagi saling adu mulut apalagi adu tinju untuk menjatuhkan satu sama lain. Ayo maju bersama, bahu membahu membangun negeri ini. Indonesia tercinta sudah terlalu lama menderita.....

Sabtu, 20 September 2008

Kisah Masa Lalu....

Saat ini dadaku terasa sesak, sesak oleh kebanggan yang tiada kira. Ya, siapa yang tak bangga? Hari ini adalah hari pertamaku resmi menyandang predikat mahasiswa, mahasiswa teknik dari sebuah institusi teknik yang katanya terbaik di negeri ini. Di kepalaku sudah terisi segudang angan – angan tentang dunia kemahasiswaan yang akan aku arungi, dunia yang ilmiah dan penuh dengan rumus – rumus hukum alam yang panjang, dunia belajar yang terbebas dari seragam dan lonceng sekolah, dunia saat aku mulai belajar politik dan demokrasi untuk turut serta mengatur jalannya pemerintahan negeri ini, dunia yang terbebas dari aturan orang tua di rumah dan yang paling utama dunia yang akan banyak digandrungi cewek – cewek cantik karena kampusku adalah kampus terbaik dan ada di kota B tempat surganya cewek – cewek cantik. Hm…luar biasa memang angan – anganku waktu itu.

Tanpa terasa 4 tahun sudah berlalu dari saat pertama aku menjadi mahasiswa dan 4 tahun pula aku merasakan kecewa atas angan – anganku sendiri yang tak juga jadi kenyataan, terutama angan – anganku untuk digandrungi cewek – cewek cantik. Yah! boro – boro digandrungi, kenalan cewekku saat ini saja tidak lebih dari jumlah sepuluh jari tanganku dan mirisnya lagi nggak ada yang cantik! Kekecewaan itu pada akhirnya menimbulkan banyak pertanyaan di kepalaku dan tanpa sadar sempat terlontar pertanyaan pada ibuku saat aku liburan ke kotaku.

“Bu, apa tampangku jelek banget sih?”, tanyaku
“Kok nanyamu begitu San, ada masalah apa?”
“Nggak ada masalah apa – apa kok bu, aku cuma pingin tahu pendapat ibu aja tentang tampangku ini…”.
Mendengar kata – kataku itu berderailah tawa ibu : “Ha..ha..ha.. San! San…! mahasiswa tingkat akhir kok pertanyaannya seperti anak SD gitu…”, lanjutnya, “Apa uang bulananmu sama sekali tidak tersisa untuk kamu belikan cermin sampai – sampai tampangmu sendiri kamu nggak tahu…?”
Sambung ibu selanjutnya, “ Nggak ada yang kurang dari tampangmu San! semuanya lengkap dan sempurna, kamu harus mensyukuri karunia yang dilimpahkanNya padamu, lagian tampang ataupun penampilan fisik dari seorang manusia itu bukan yang utama karena yang paling utama ada di hatinya, dihatimu….”
“Sebenarnya ada apa sih San?”, tanya ibu ingin tahu.
“Ah, nggak ada apa – apa kok bu, pingin tahu pendapat ibu aja, matur nuwun (terima kasih)”, sahutku seraya pergi meninggalkan ibu untuk menghindari pertanyaan – pertanyaan ibu lainnya.

Di kamarku aku berpikir tentang apa – apa yang barusan dikatakan ibu, memang benar semua yang dikatakan ibuku itu, tapi walaupun begitu tetap saja pertanyaan – pertanyaan tentang ketidakmampuanku bergaul dengan kaum hawa dan menjadikan salah satu dari mereka menjadi pacarku selalu terngiang – ngiang di telingaku. Kalau penampilan fisik aku punya, isi kepala cukup , status mahasiswa tingkat akhir perguruan tinggi ternama, dompet ada isinya sedikit, lantas apa yang kurang dariku….? Dan sejujurnya pertanyaan – pertanyaan itu menghantui hidupku, mengganggu tidurku…
Hanya untungnya aku termasuk golongan manusia egois, manusia yang tidak mau kalah dalam urusan belajar, jadi pertanyaan – pertanyaan tadi tidak cukup daya untuk merusak konsentrasi belajarku.

Pikirku, “Mungkin ada sesuatu yang aku tak punya dan aku tidak tahu itu apa tapi sangat penting…! Ah aku harus mencari jawabannya, tak pas rasanya kalau calon insinyur teknik seperti aku pacarpun nggak punya”.
“Aku harus mencari jawaban pertanyaanku itu segera! Dan kalau sudah kudapat jawabannya akan kugunakan untuk mencari pacar yang kuidam - idamkan”, lanjutku dalam hati.
Hingga akhirnya disela – sela mengerjakan skripsiku aku jadi rajin nongkrong di tempat – tempat anak muda kota B biasa ngumpul dan tidak ketinggalan aku kursus kepribadian sama teman karibku Eko. Eko yang kukenal adalah mahasiswa yang sederhana, seimbanglah sama aku, tapi pacarnya cantik – cantik dan sering ganti - ganti, dia teman satu kostku, anak kota C yang mengambil kuliah jurusan teknik juga hanya beda kampus denganku, dari Eko aku belajar banyak tentang cara – cara bergaul, bertelpon, berbicara yang menarik, merayu tanpa kelihatan menggombal dan segala tetek bengek yang berhubungan dengan wanita khususnya mahasiswi dan pada akhirnya cara menundukkan hati mereka.
Katanya, “ Pokoknya San, kunci utamanya percaya diri! Kamu harus punya itu! Lain – lainnya akan muncul dengan sendirinya.”
Ya, percaya diri! Rupanya itu modal yang belum aku punya dan itu jawaban dari pertanyaanku selama ini.

Kenyataannya memang kunci yang diberikan temanku Eko sangat manjur adanya, karena dengan modal itu aku sekarang lagi dekat dengan Ira, Sisca Irasanti nama lengkapnya, seorang gadis cantik, berkulit putih, semampai, pintar, ramah dan sexy, pokoknya semua kriteria yang ada di kepalaku tentang wanita idola calon pendamping wisudaku ada pada dia. Oh ya, Ira adalah seorang mahasiswi jurusan sastra Jepang di sebuah Sekolah Tinggi Bahasa di kota B ini. Dengan adanya Ira walaupun belum resmi jadi pacarku rasanya hari – hariku jadi cerah, semangat belajarku menggebu, aku jadi rajin memperhatikan segala sesuatu yang berhubungan dengannya : warna kesukaannya, baju, sepatu, tas, model rambutnya dan sebagainya, aku juga jadi rajin membaca tentang hal – hal yang berhubungan dengan obyek studinya “Jepang dan bahasanya” juga yang berhubungan dengan hobinya olahraga tenis lapangan. Satu hal yang menyiksaku adalah aku jadi tambah susah tidur, karena aku selalu pingin cepat – cepat pagi agar aku bisa bertemu dengannya. Ah, cinta memang membuatku serasa terbang di awan sekaligus serasa bodoh…..

Sejalan dengan berjalannya waktu, hari ke hari semakin mendekatkan hubungan kami, pembicaraan telepon, obrolan – obrolan seputar hobi dan ide – ide kami serta pertemuan demi pertemuan semakin mengobarkan gelora asmaraku padanya, aku jadi sangat romantis dan melankolis kalau lagi ngebayangin dia dan kebersamaanku dengannya, mungkin lebih romantis dari film Gita Cinta Dari SMA atau Puspa Indah Taman Hatinya Rano Karno dan Yesy Gusman yang pernah aku tonton dulu, hanya masalahnya aku belum juga berani mengutarakan perasaan hatiku padanya. Jangankan untuk menyatakan cinta, menatap matanya secara langsung saja jantungku berdegup keras serasa mau lepas dari tempatnya….
“Tapi ini tidak boleh didiamkan, aku harus segera menyatakannya”, ucapku dalam hati.

Maka setelah kutimbang – timbang, kupikir – pikir, akhirnya kuputuskan hari Sabtu adalah waktu yang tepat untuk menyatakan perasaan cintaku padanya karena aku dan dia sama – sama tidak ada mata kuliah pada hari Sabtu dan dia juga mau meluangkan waktunya untukku di hari itu. Dengan bekal percaya diri dan rasa cinta yang membara akhirnya kuberanikan juga untuk mengungkapkan perasaan cintaku padanya, “ Ra, ehm… ehm.. boleh nggak aku ngomong sesuatu sama kamu?”
“Ya boleh lah, emang kamu mau ngomong apa? Lagian formil amat, kayak kita nggak pernah omong – omongan aja!”, tukasnya.
Jawabannya yang lugas langsung membuatku down dan terpaksa kunyalakan sebatang rokok yang sudah kusiapkan sebelumnya walaupun sebenarnya aku bukan perokok. Melihat aku merokok dia tersenyum seraya bertanya, “ Ada apa sih? Kok stress banget, penting banget ya?”.
“Nggak kok, aku cuma… cuma… aduh gimana ya ngomongnya… ?
“Aku baru sekali ini deh, ngeliat kamu kaya orang bodo gitu, mau ngomong aja susah, ada apa sih?”, tanyanya sekali lagi.
“Anu Ra, aku cuma.. pingin… pingin ngutarain perasaan sayangku padamu….”.
“ Aku pingin kita bisa jalan bareng lebih dari seorang teman…”. Begitu kata – kata itu meluncur dari bibirku lega sekali rasanya, lepas seluruh beban di hatiku.
“Oh itu?” ,ucapnya. “Gimana ya San…, aku sebenarnya juga simpati sama kamu…, cerita kita nyambung, ide – ide kita sejalan, tapi…. kayaknya kamu terlambat deh, soalnya saat ini aku sudah punya pacar yang sedang kuliah di Surabaya dan hubungan kami baik – baik saja… Jadi rasanya aku tidak punya alasan untuk memutuskan hubungan itu….”. Lanjutnya, “Tapi jangan kecil hati deh San, kita kan masih bisa berteman, lagian rasanya berteman itu lebih indah deh daripada pacaran…”. Byar!!! Hancur rasanya hatiku mendengar jawabannya dan dapat ditebak detik – detik selanjutnya adalah kehampaan rasa di hatiku dan padamnya semangat hidup yang akhir – akhir ini kurasakan begitu menyala – nyala, akhirnya hanya kebekuan yang ada di antara kami, sampai kuperoleh alasan yang tepat untuk pamit pulang.

Sejak penolakan itu dunia benar – benar terasa hampa dan gelap buatku, segala ilmu, nasihat dan dorongan semangat yang dipompakan Eko sahabatku seolah tiada arti lagi bagiku, segalanya jadi terasa menyesakkan. Aku jadi ingat sebuah kalimat yang aku pelajari saat belajar bahasa Indonesia di SD dulu “Saat kita sakit, makan serasa tidak enak, tidur tidak nyenyak dan dudukpun gelisah” begitulah pula rasanya kalau patah hati karena cinta ditolak. 3 bulan lamanya aku berusaha melupakan kejadian itu dan 3 bulan pula pengerjaan skripsiku terbengkelai, untunglah di saat – saat akhir meski tertatih aku bisa menyelesaikan skripsiku dan lulus ujian sarjanaku. Hingga akhirnya datanglah saat wisuda sarjanaku, saat – saat yang membahagiakanku, walau tanpa Ira disisiku….

Kamis, 18 September 2008

Kenangan Tentang Sahabatku.... (Bag. 2)

Dari sumber – sumber yang dapat kupercaya aku tahu kalau sakitnya Narto berawal dari rasa kecewa Narto yang sangat besar terutama sejak kegagalan niatnya untuk mengambil gelar S1 nya, ceritanya begini :

Sebagai penghargaan atas prestasi dan ketekunan Narto dalam bekerja sebagai staf bagian ekonomi di Pemda B terutama keberhasilannya membenahi kebobrokan beberapa koperasi di 3 kecamatan yang menjadi tanggung jawabnya maka atas inisiatif bosnya, pak Broto, Narto diusulkan untuk mendapat beasiswa dari Pemda untuk melanjutkan kuliahnya mengambil gelar S1, kebetulan saat usulan itu dibuat anggaran beasiswa Pemda B masih tersedia dan belum dimanfaatkan. Maka mudahlah ditebak kalau usulan itu berjalan mulus dan mendapat persetujuan. Dengan bekal persetujuan itu maka pergilah Narto ke kota Y untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kuliahnya itu, mulai dari pendaftaran, administrasi, buku – buku, tempat kos bahkan sampai sepeda motor butut untuk transportasi kuliahnya.

Karena saat persetujuan itu turun waktunya sangat mepet dengan pembukaan tahun ajaran baru di universitas U kota Y maka beasiswa yang seharusnya menjadi hak Narto belum dapat dicairkan, untuk itu atas saran pak Broto, Narto diminta untuk menggunakan uang pribadinya dahulu. Tanpa berpikir panjang saran itu Narto lakukan walaupun sebenarnya tabungan Narto masih sangat kurang untuk menutup semua biaya yang diperlukan, untuk itu Narto meminjamnya dari koperasi – koperasi yang ada di bawah binaannya, “Toh cuma sebentar saja, lagian kalau uang beasiswa itu turun aku akan segera kembalikan”, begitu pikirnya. Total jenderal ± Rp. 14 juta uang yang harus Narto keluarkan terlebih dahulu untuk membiayai kuliahnya.

Waktu berlalu dan mulailah masa perkuliahan yang harus Narto jalani, tapi seiring dengan bergantinya waktu setiap Narto menanyakan uang beasiswanya, nanti, nanti dan nanti adalah jawaban yang selalu Narto dengar. Selidik punya selidik ternyata uang beasiswa itu sudah dialokasikan untuk Gino, pegawai baru Pemda B yang konon kabarnya adalah keponakan pak Broto, bos Narto.
Dar….!!! Duniapun bergetarlah seiring dengan tenggelamnya Narto dalam gemuruh gulungan ombak penindasan dan kesewenang – wenangan penguasa, sekecil apapun kekuasan yang dimilikinya.

Sejak pertemuanku dengan Narto di bulan September itu aku jadi rajin lagi memonitor perkembangan kesehatan Narto sekaligus kugunakan untuk mengembalikan semangat hidupnya karena aku yakin kalau penyebab utama sakitnya Narto adalah faktor kejiwaan Narto yang mengalami shock, komunikasi dengannya kulakukan melalui telpon dan sms selain informasi yang kudapat dari keluarga dan teman – temanku yang ada di kota B. Kesempatan ini juga kulalukan untuk menggalang solidaritas di antara kawan – kawan kami yang tersebar di kota – kota lain untuk sedikit meringankan beban Narto. Melalui temanku Rizal dan Hadi dana solidaritas berhasil kami kumpulkan dan itu digunakan untuk membantu pembiayaan pengobatan Narto selanjutnya.

Alhamdulillah beberapa bulan kemudian berita yang kudapat mengabarkan kalau Narto sedikit demi sedikit sudah mulai kembali seperti sediakala, bahkan beberapa minggu yang lalu dia kembali mencambangi orang tuaku untuk bersilahturahmi dan bercerita – cerita tentang pengalamannya, sesuatu yang sudah lama tidak dilakukannya. Betapa gembiranya aku mendengarnya terlebih lagi ketika kuterima suratnya yang juga dikirimnya kepada kawan – kawanku lainnya seperti Rizal, Hadi, Eko, Bima, Indi, Ipong dan masih banyak lagi yang isinya ucapan terima kasih atas bantuan yang sudah diterimanya, keiklasan atas suratan nasib yang harus diterimanya, kembali bekerjanya dia seperti sediakala dan yang lebih utama lagi dia menginginkan jalinan solidaritas yang sudah terbentuk di antara kami lebih dikokohkan dalam suatu wadah yang dia sendiri menyanggupi untuk mengelolanya, luar biasa….! Aku sudah menemukan kembali temanku Narto, temanku yang pernah kukenal, Narto yang memiliki gairah hidup….

Dan pada suatu dini hari, saat aku masih terlelap kelelahan di kamar sebuah hotel dalam rangka tugasku di kota P , ring tone hand phoneku berbunyi beberapa kali, dengan malas kulihat panggilan yang masuk, ternyata dari Narto! Segera kubatalkan panggilannya dan aku yang akan menelpon dia balik karena aku masih lebih ikhlas membayar biaya pulsa daripada harus membayar biaya roaming (waktu tulisan ini dibuat, roaming masih jadi komponen biaya di telepon seluler). Tapi sebelum kutelpon dia, ternyata sudah ada sms darinya yang isinya : “Bangun, segera sholat biar Allah meringankan semua langkahmu”, aku tersenyum membacanya, bisa juga dia mengingatkanku untuk sholat walaupun dia seorang Katolik yang taat. Karena waktu Subuh di kota P masih belum masuk maka segera kutelpon balik Narto pingin tahu apa keperluannya nelpon aku dini hari seperti ini.

“Halo To, gimana kabarmu, kamu lagi dimana kok malam – malam gini nelpon, ada yang penting?”, berondongku.
“Penting banget San! aku sekarang lagi di kota S, di rumah Rizal, pokoknya besok pagi – pagi benar kamu langsung ke bandara, ambil penerbangan pertama ke J langsung dikonekkan ke kota S, aku perlu kamu jam 10 pagi untuk menghadap pak gubernur, untuk presentasi tentang peta digital keahlianmu!”, jawabnya bertubi – tubi.
“Wah kalau besok pagi aku nggak bisa, aku masih dinas di P, lagian sekarang lagi musim liburan sekolah, peak season! Nggak gampang cari tiket!” sanggahku.
“Tapi ini penting, San! Kalau gitu ntar aku hubungi pegawai sekretariat kantor gubernur untuk menunda pertemuannya!” katanya lagi.
Mendengar kata – katanya aku tercenung… apa semudah itu mengatur waktu seorang gubernur? Tapi aku teruskan pembicaraan telpon itu.
“Wah, tetap aku nggak bisa To, gini aja kamu teruskan rencanamu, aku akan back up dari belakang gimana?” usulku.
“Berapa gajimu disana sih San? Udah kamu ikut aku aja! Ntar kunaikkan gajimu Rp. 500 ribu…” katanya di ujung sana.
Terkejut aku mendengar kata – katanya, tapi aku masih bisa tahan kemarahanku mendengar kata – katanya yang tidak biasa dan cenderung melecehkanku itu.
“Ha…ha…ha…” tawaku pahit, lanjutku sekenanya, “aku sekarang sedang ditawari pindah kerja di perusahaan besar dengan tambahan gaji jauh lebih besar dari Rp. 500 ribu aja aku masih belum mau kok kamu cuma nambahin segitu..”
“Tapi ini bagus untuk masa depanmu, San! Apalagi kalau nanti aku jadi bupati B pasti kamu akan kubuat makmur”, sahutnya.

Semakin lari kesana – kemari kata – katanya dan aku semakin tak mengerti apa yang sedang terjadi dengannya. Karena selama aku kenal Narto dia tidak pernah berkata – kata yang mengarah ke arah pongah dan sombong seperti yang barusan kudengar. Akhirnya setelah lebih dari 20 menit pembicaraan tak menentu itu aku berhasil menghentikannya dengan alasan akan sholat Subuh. Seusai sholat kuhubungi Rizal dan kutanyakan tentang keadaan Narto di rumahnya. Dari Rizal aku tahu kalau Narto ke kota S hanya dengan selembar baju yang menempel di tubuhnya, tanpa uang sepeserpun dan katanya akan menemui pak gubernur untuk membicarakan proyek pemetaan digital kota B yang belum jelas ada tidaknya proyek itu. Bahkan seperti juga aku, Rizal juga disuruhnya berhenti dari pekerjaannya. Lebih jauh Rizal mengatakan kalau semalam suntuk Narto tidak tidur dan hanya mencericau tentang angan – angannya ketemu pak gubernur, hayalannya untuk jadi orang kaya dan menguasai dunia, keinginannya untuk membalas sakit hatinya pada orang yang telah merampas beasiswa kuliahnya dan yang utama hasratnya untuk membalas dendam, dendamnya pada kemiskinan dan orang – orang yang diingatnya pernah mendzoliminya di masa lalu. Masya Allah!!! Lemas aku mendengarnya…. Dan beberapa hari kemudian sepulangnya dari kota P aku mendapat kabar kalau Narto oleh kantor dan teman – temannya dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa…..

Dan sekarang 4 tahun kemudian, ketika aku posting tulisan ini ke Blogku, Narto sudah benar – benar pergi meninggalkanku, meninggalkan kami semua… Ya dia pergi menghadap ke haribaanNya 2,5 tahun yang lalu. Dia pergi karena digerogoti penyakit aneh yang dideritanya. Selamat jalan kawan, Semoga Tuhan melapangkan jalanmu di sana…….

Senin, 15 September 2008

Kenangan Tentang Sahabatku.... (Bag. 1)

Tulisan ini kudedikasikan untuk sahabatku (Alm) Yohanes Suminardi,
"Yo..., kebersamaan yang pernah kita alami bersama, adalah salah satu puncak pembelajaranku dalam memahami arti kata persahabatan"

Sunarto

Kota tempat aku dilahirkan adalah sebuah kota kabupaten, di ujung selatan – barat sebuah propinsi yang ada di tengah – tengah pulau Jawa, di tepi samudra Indonesia, kota ini adalah ibukota dari sebuah kabupaten yang memiliki areal cukup luas dan bervariasi pemanfaatannya, mulai dari berbagai industri besar bernilai investasi sangat tinggi, industri rumah tangga berskala kecil sampai besar, perdagangan, transportasi darat – laut - udara, pertanian rakyat, perkebunan tanaman keras, perikanan laut dan sungai dan masih banyak lagi sampai lokasi pembuangan orang – orang yang oleh negara dan masyarakat dicap sebagai pendosa alias narapidana. Ya! Di diseberang lautan sana yang masih masuk dalam wilayah kabupaten B ada sebuah pulau, pulau K namanya yang cukup seram reputasinya karena merupakan lokasi dari beberapa LP kelas satu di negeri ini tempat para narapidana kelas kakap menghabiskan hari – harinya. Tapi alangkah baiknya kalau aku tidak berpanjang lebar menulis tentang LP – LP yang ada di kabupaten tempatku dilahirkan karena selain aku tidak cukup menguasai masalah itu juga karena menurutku ada sebuah masalah yang lebih penting yang ingin kuceritakan disini.

Sebenarnya perhubunganku dengan kotaku ini bisa dikatakan sudah tidak terlalu intens lagi karena sudah hampir 16 tahun lalu aku sudah tidak menetap lagi disana, itu karena selepas SMP kedua orang tuaku sudah mengirimku bersekolah di luar kota hingga akhirnya sampai aku lulus sekolah, bekerja dan berumah tangga pun aku sudah terlepas dari denyut nadi kehidupan kotaku. Satu – satunya penghubungku hanya karena orang tuaku dan dinasti keluarga besarku masih menetap di sana dan beberapa gelintir teman – teman masa laluku yang masih berhubungan denganku, salah satunya adalah Narto, Sunarto nama lengkapnya, sahabat masa kecilku hingga saat ini. Nartolah yang akan kujadikan sebagai subyek dari ceritaku ini.

Jika datang ke kotaku dengan menaiki kendaraan umum dari luar kota cukuplah berhenti di terminal bis, dari terminal berjalanlah melintasi jalan L sejauh ± 700 m ke arah timur maka disebelah kiri jalan kita akan temui sebuah papan bertuliskan “Warung Sekoteng” itu tandanya kita sudah menemui rumah dari orang yang kumaksudkan dalam tulisan ini, rumah Narto, rumah sahabatku. Tapi bagi orang yang sudah kenal dengan kota B dan rute bis – bis yang datang dari luar kota untuk menuju rumah Narto tidak perlu turun di terminal karena rumah Narto sendiri dilewati bis – bis itu. Sedang rumah orang tuaku, tempat aku menghabiskan masa kecilku terletak di jalan B yang jaraknya ± 800 m ke arah timur – selatan dari rumah Narto.

Persahabatanku dengan Narto dimulai saat kami sama – sama duduk di kelas dua SMP, ya! kami belajar di sekolah yang sama dan kelas yang sama yaitu kelas IIB SMP Anggrek, sebuah SMP yang pada saat itu bisa dikatakan terbaik di kotaku. Rumah yang berdekatan, sekolah yang sama, sama – sama bersepeda ketika berangkat dan pulang sekolah dan sudah barang tentu route yang sama maka kloplah kalau kemudian aku dan Narto jadi sering menghabiskan waktu bersama. Yang kuingat saat itu di halaman depan rumah Narto ada 3 pohon jambu air, satu pohon jambu air warna merah dan dua pohon jambu air warna putih yang buahnya manis – manis dan hampir sepanjang tahun berbuah, daya tarik itu merupakan magnet utamaku untuk lebih sering menghabiskan waktu bermain di rumah Narto.

Tentang warung sekoteng yang jadi cap rumah Narto sampai saat ini pun aku mengetahui asal usulnya. Ini bermula dari pemikiran ibu Narto untuk mencari tambahan penghasilan setelah ayah Narto meninggal karena sakit, uang pensiun janda seorang pegawai rendahan seperti yang setiap bulan diterima ibu Narto pasti tidaklah cukup untuk menghidupi dan menyekolahkan Narto dan dua orang adiknya. Oh ya Narto punya dua orang adik, seorang lelaki Untung namanya dan si bungsu perempuan Lina namanya. Jarak umur antara Narto dan kedua adiknya tidaklah terlalu jauh menurut pengamatanku. Dengan warung itu setiap malam kecuali Minggu malam, mulai dari sehabis magrib sampai kurang lebih jam sepuluh malam keluarga Narto bekerja mencari penghidupan, selain sekoteng mereka juga menyediakan kopi, teh, telor ayam kampung setengah matang, mendoan (makanan khas daerah kami berupa tempe dari bahan kedelei yang dibuat tipis dan lebar dan digoreng tidak terlalu kering dengan tepung yang dilengkapi dengan bumbu – bumbu secukupnya), pisang goreng dan tahu isi. Karena memang cita rasa yang mereka sajikan cukup enak ditambah situasi warungnya yang bersih dan keramah – tamahan keluarga Narto dalam melayani pembeli maka mudah diterka kalau warung itu menjadi sumber penghidupan yang layak dan langgeng untuk keluarga Narto hingga Narto bisa belajar sampai ke jenjang DIII sebuah universitas negeri di kota S demikian juga dengan kedua adiknya.

Warung itu pula yang menjadi markas berkumpul kawan – kawan Narto semasa SMP dan SMA untuk saling bercerita pengalaman masing – masing sambil saling bertukar informasi tak terkecuali aku kalau kebetulan sedang pulang liburan ke kotaku B. Bahkan sampai saat ini kalau segala sesuatunya berjalan normal aku yakin warung itu akan tetap jadi sumber informasi yang lengkap dan terpercaya untuk kami semua karena secara kebetulan Narto diterima sebagai pegawai negeri sipil di Pemda kabupaten B, kota kami, yang berarti Narto akan kembali menetap di kota B setelah sebelumnya sempat meninggalkannya untuk belajar di kota S selama 3 tahun.

Hampir lima tahun sudah Narto mengabdikan dirinya sebagai pegawai di jajaran Pemda kabupaten B dan semuanya berjalan lancar kecuali komunikasi kami yang mulai agak tersendat karena kesibukanku bekerja dan mengurus rumah tangga yang baru dua tahun ini kubangun dengan wanita pilihanku, namun demikian kabar tentang Narto tetap aku dengar dari cerita – cerita orang tuaku termasuk rencana Narto untuk melanjutkan kuliah di kota Y guna melengkapi kesarjanaan S1 nya. Hingga pada bulan September tahun lalu aku mendapat penugasan dari perusahaanku untuk melakukan suatu pekerjaan di kotaku B. Kesempatan ini sudah barang tentu kumanfaatkan untuk pulang ke rumah orang tuaku dan juga untuk menemui Narto, sahabatku. Tapi….. Betapa terpananya aku…. Waktu kudatangi rumahnya yang kutemui adalah Narto yang benar – benar lain dari Narto yang selalu ada di pikiranku : Narto yang berbadan tegap berisi dengan bola mata yang berpendar – pendar memancarkan gairah hidup di usia 32 tahunnya dan Narto yang tertawa gembira menyambut kedatangan sahabat lamanya seperti yang selalu kualami sebelum – sebelumnya. Tapi kini…. Aku menemui Narto yang kurus kering, loyo, berwajah layu, berbola mata tanpa semangat dan sering terbatuk - batuk.
“To, apa yang terjadi denganmu?”
“Entahlah San, yang jelas aku punya penyakit yang aneh….”, jawabnya.
“Aneh gimana maksudmu, To?” tanyaku.
“Ya aneh! Wong aku sudah berobat kemana – mana nggak sembuh – sembuh! Ke dokter ini, ke dokter itu, ke tabib, sinshe, orang pinter, di kota sini, kota sana… nggak ada yang bisa njelasin apa sebenarnya penyakitku! Ada yang bilang lever, batu ginjal, jantung dan penyakit – penyakit serem lainnya, tapi nggak ada yang jelas dan bikin aku sembuh…. Aku putus asa San…” ucapnya melemah dan kulihat ada butiran air matanya menetes dari kelopak matanya… Narto menangis! Sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
“Gini aja To, kamu tetap usaha berobat semampumu, nanti aku coba kirim obat yang cukup manjur dari Amerika dari jalur bosku, siapa tahu cocok buatmu, kebetulan kemarin berkat obat itu ibuku yang harusnya dioperasi tumor jadi nggak dioperasi karena tumornya hilang pelan - pelan!” janjiku.
“Tapi harganya mahal San, kamu kan tahu ekonomiku…” sanggahnya tak bersemangat.
“Pokoknya tenang aja lah To! kamu nggak usah mikir biayanya, biar aku usahain semampuku..” kataku. “Pokoknya yang penting kamu harus tabah dan tetap bersemangat, kamu harus bisa mengalahkan penyakitmu, wong calon bupati kota B kok kalah sama penyakit…”, lanjutku untuk memompa semangatnya, ya memang kami sering berkelakar bahwa Nartolah nantinya yang paling cocok jadi bupati kota kami biar kami teman – temannya kecipratan makmur.
“Terima kasih San” jawabnya sedikit bergairah, “Doakan aku cepat sembuh..”
Dan akhirnya kami tenggelam dengan percakapan kami yang lain walaupun tak lama kemudian aku pamit pulang untuk mempersiapkan pekerjaanku juga karena aku tidak ingin mengganggu istirahat Narto.

Bersambung....

Minggu, 17 Agustus 2008

Tulisan Gus Mus....

Berbeda dengan beberapa posting tulisan yang sudah ada, yang merupakan pemikiranku sendiri (walau masih sangat sederhana), tulisan yang aku posting kali ini adalah karya A. Mustofa Bisri, Kyai sastrawan dengan nama besar, pengasuh Pondok Pesantren Taman Belajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. Tulisan beliau ini dimuat di harian Kompas, Rabu 19 Maret 2008, dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Alasanku memposting tulisan ini semata-mata sebagai bentuk kekagumanku atas keindahan dan kedalaman isi dari karya beliau ini. Dan yang paling utama adalah rasa kagum dan hormatku pada tokoh yang menjadi panutanku dan panutan seluruh umat Islam didunia ini,Rasulullah SAW. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, mohon ijin kepada Gus Mus untuk menampilkan tulisannya di blog saya.

Berikut isi selengkapnya :

Nabi Pembawa Kasih Tuhan
Oleh A. Mustofa Bisri

Lelaki berwibawa itu membariskan anak-anak pamannya, Abbas, Abdullah, Ubaidillah, dan Kutsair. Ia berkata kepada bocah-bocah itu, “Ayo, siapa yang lebih dulu mencapaiku, aku beri hadiah.”
Bocah-bocah itu dengan gembira berlarian, berlomba mendapatkan laki-laki yang mereka cintai itu. Ada yang kemudian jatuh di dadanya, ada yang dipunggungnya. Lelaki yang tidak lain adalah pemimpin agung Nabi Muhammad SAW itupun memeluk dan menciumi mereka.
Ketika waktu salat tiba, Rasulullah SAW seperti biasa datang untuk mengimami jamaah. Namun, kali ini, beliau datang dan salat dengan memanggul cucunya, Umamah binti Abil ’Ash, di pundaknya. Pada saat rukuk, Umamah diletakkan dan saat bangkit dari rukuk cucunya itu diangkat lagi.

Kisah Nabi
Zahir sedang berada di pasar Madinah ketika tiba – tiba sesorang memeluknya kuat – kuat dari belakang. Tentu saja Zahir terkejut dan berusaha melepaskan diri, katanya, “Lepaskan aku! Siapa ini?”
Orang yang memeluknya tidak melepaskannya, justru berteriak, “Siapa mau membeli budak saya ini?” Begitu mendengar suaranya, Zahir sadar siapa orang yang mengejutkannya itu. Bahkan, ia merapatkan punggungnya ke dada orang yang memeluknya, sebelum kemudian mencium tangannya. Lalu, katanya riang, “ Lihatlah, ya, Rasulullah, ternyata saya tidak laku dijual.”
“Tidak, Zahir, di sisi Allah hargamu sangat tinggi,” sahut lelaki yang memeluk dan “menawarkan” dirinya seolah budak itu yang ternyata tidak lain adalah Rasulullah, Muhammad SAW.
Zahir Ibn Haram dari suku Asyja’ adalah satu di antara sekian banyak orang dusun yang sering datang berkunjung ke Madinah, sowan menghadap Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Di perjalanan, rombongan berhenti untuk beristirahat. Ketika mereka menyiapkan santapan,seseorang mengangkat tangan dan berkata, “ Aku yang menyembelih kambingnya.”
“Aku yang mengulitinya!” kata yang lain. “Aku yang memasak!” sahut yang lain lagi. “Kalau begitu, aku yang mencari kayu bakar!” kata pemimpin mereka, Nabi Muhammad SAW. Orang – orang pun serentak berkata. “Tak usah, ya, Rasulullah, biar kami saja yang bekerja.”
“Aku tahu kalian bisa membereskan pekerjaan ini tanpa aku,” sergah sang Nabi, “tetapi aku tidak ingin berbeda dan istimewa melebihi kalian. Allah tidak suka melihat hambanya berbeda dari sahabat – sahabatnya.

Pemimpin Agung
Dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, sengaja saya nukulkan penggalan – penggalan hadits. Hadits – hadits sahih semacam ini jarang sekali dinukil, baik dalam ceramah keagamaan maupun dalam tulisan. Mungkin orang menganggap hal – hal itu terlalu biasa dan kurang menarik. Padahal, pemeran utama berbagai penggalan kisah kehidupan itu adalah sang pemimpin agung yang nabi yang rasul, utusan Allah.
Pemeran utama berbagai cuplikan kisah itu adalah Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang oleh Michael H Hart, namanya ditempatkan dalam urutan pertama 100 manuasia paling berpengaruh di dunia. Pemeran utama cuplikan – cuplikan kisah itu adalah utusan Allah, Muhammad SAW, yang agamanya diikuti oleh mayoritas bangsa ini. Pemimpin yang berhasil membangun masyarakat madani di Madinah. Pemimpin yang mencintai dan dicintai umatnya. Pemimpin yang ditaati karena dicintai dan bukan karena ditakuti.
Di dada dan punggung Pemimpin Agung itulah bocah – bocah, anak – anak pamannya, bergelayutan dengan riang. Di pundak Pemimpin Agung itulah Umamah binti Abil ‘Ash, cucunya, digendong dibawa mengimami salat. Pemimpin Agung itulah yang bercanda dan menggoda salah seorang rakyatnya di pasar. Pemimpin Agung itulah yang tidak mau diistimewakan oleh kawan – kawan rombongannya dan meminta bagian pekerjaan juga seperti anggota rombongan yang lain.

Kasih Sayang
Dari adegan – adegan sederhana itu, anda pasti dapat membaca, antara lain, kasih sayang dan kerendah-hatian Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kasih sayang dan kerendah-hatian inilah yang menjadi faktor utama mengapa beliau amat dicintai dan disayangi umatnya. Kasih sayang sudah menjadi bawaan Kanjeng Nabi SAW.
Pernah Kanjeng Nabi SAW mencium cucunya, Hasan Ibn Ali, di hadapan tokoh suku Tamim, Aqra’ Ibn Habis. Aqra’ berkomentar, “ Aku punya sepuluh anak dan tak seorang pun pernah aku cium.” Kanjeng Nabi memandang Aqra’ dan bersabda, “Man laa yarhamu laa yarhamu.” “Orang yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.”
Kasih sayang bukan saja bawaan Rasulullah SAW dan merupakan sikap hidup beliau, melainkan juga merupakan misi beliau; sesuai dengan yang difirmankan Tuhannya dalam Al Quran (Q. 21 : 107). Seperti nabi – nabi sebelumnya, Nabi Muhammad SAW adalah pembawa kasih sayang Tuhan. Maka, mereka yang mengaku pemimpin penerus risalah Nabi, tetapi tidak memiliki kasih sayang, akan kesulitan bahkan juga menyulitkan orang lain.
Semoga salawat dan salam dilimpahkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Kamis, 12 Juni 2008

Ada Lafadz ALLAH Di Darah Itu….


Aku pernah mendengar berita dari seorang sholeh yang aku temui. Beliau bercerita tentang informasi yang pernah dibacanya dari surat kabar. Berita itu tentang lafadz Allah yang tertera di sel darah manusia yang diamati dengan mikroskop yang canggih. Kalau nggak salah ilmuwan yang mengamati adalah ilmuwan Amerika.

Keimanan yang ada di hatiku sudah barang tentu menyakini informasi itu, bukankah di Al Qur’an juga disebutkan :”Kami lebih dekat padanya daripada urat lehernya,” hanya memang aku belum pernah melihatnya secara kasat mata …..

Nah, rupanya pada suatu waktu aku diberi kesempatan untuk melihat buktinya, walaupun dalam bentuk yang lain, bukti kebesaranNya, bukti yang menambah keimananku padaNya…. Dan semoga menambah keimanan anda semua yang membaca tulisanku ini….
Begini kisahnya…..
Empat tahun yang lalu, aku terpaksa harus terbaring di rumah sakit. Waktu itu HB (Haemoglobin) ku sudah drop sampai angka 6. Padahal HB normal orang dewasa sehat seumurku harusnya berada di angka 11 – 13, ada pendarahan di usus besarku….!!!
Kata dokter yang merawatku, sebenarnya aku hampir terlambat dibawa ke rumah sakit, karena di HB yang cuma 6 napasku sudah tersengal – sengal, badanku sudah lemas dan sempoyongan, (mungkin) sebuah kondisi yang mendekati kematian…..

Kondisi itu menuntut dilakukan langkah penanganan cepat dan tepat. Bed rest total, obat, infus, pernapasanku harus pakai selang oksigen dan….. aku harus dapat transfusi darah!!
Transfusi darah!! ya, ini yang mengusik jiwaku, mengganggu pikiranku…. Terbersit ketakutan di otakku, tentang darah yang akan masuk ke tubuhku, darah siapa??? Mengandung virus HIV??? Hepatitis??? Atau virus penyakit menakutkan lainnya yang akan menulariku. Sejujurnya kutulis disini, bayangan itu menakutkanku….

Dan yang lebih fatal lagi, ada sebuah bayang – bayang ketakutan yang menambah bebanku….. Ketakutan kalau darah yang masuk ke tubuhku nanti bukan berasal dari orang yang seiman denganku….
Egois sekali aku!!! Sudah tak berdaya masih nawar macam – macam….

Memang….. ketakutan – ketakutan itu tampak naif dan serasa berlebihan…., karena apapun alasannya, teknologi kedokteran jaman sekarang sudah sangat maju, terlebih aku di rawat di rumah sakit yang cukup bagus di kotaku, oleh seorang dokter dengan jam terbang yang tinggi… Tapi, itulah fakta yang ada di pikiranku saat itu…

Ketakutan – ketakutan itu boleh terus membayangi jiwaku, tapi demi sebuah ikhtiar menuju kesembuhan, sebuah proses untuk memperpanjang kehidupan…Transfusi darah itu harus tetap dijalankan….

Transfusi itu serasa berjalan lambat dalam hitungan waktuku….Hitungan yang kulakukan seolah tertatih…, seiring dengan helaan napasku yang masih tersengal – sengal, di bawah belas kasihan selang oksigen yang membantu kehidupanku…

Kantong darah pertama…… lama berlalu, diselingi kantong cairan infus untuk membilas darah dari kantong pertama, kantong kedua pun masuklah. Dan proses itu kurasa mencekam dan lama berlalu….

Namun berkat dorongan semangat dari istriku, yang dengan setia menemaniku, (walaupun ada janin 6 bulan di rahimnya), semangat hidupku harus tetap dinyalakan. Ada seorang wanita setia dan seorang calon penerus generasiku yang masih memerlukan kehadiranku disisi mereka….. Ya ALLAH berikan aku kesembuhan!!! Itulah doa yang selalu terngiang di hatiku saat itu..

Ketika kantong darah ketiga setetes demi setetes mulai memasuki tubuhku, dan tinggal menyisakan ± sepertiga isinya, seperti ada yang mengarahkan pandanganku untuk lebih seksama mengamati kantong itu, dan…. Masya Allah!!!! sisa darah yang menempel di kantong itu membentuk lafadz ALLAH….

Tidak yakin dengan pandanganku, kuminta istriku untuk mengamati kantong itu, kuminta suster yang merawatku untuk mengamatinya …. Dan semuanya takjub atas apa yang mereka lihat…..
Mengutip salah satu sequel dialog di novel ayat – ayat cinta yang terkenal itu, “ Allah sedang bicara padaku melalui penyakit yang diberikanNya padaku…. melalui transfusi darah yang masuk tubuhku…” ALLAHU AKBAR!!!

Dan selanjutnya, proses transfusi itu menjadi serasa ringan, proses pengobatan di rumah sakit bukan lagi suatu yang memberatkan dan jalan menuju kearah kesembuhan seolah terbuka lebar…..

Pada awalnya, saya ingin foto darah itu menjadi koleksi pribadi saya dan keluarga, tapi sejalan dengan berubahnya waktu saya ingin berbagi kepada anda semua, pembaca tulisan saya di BLOG ini… semoga bisa menambah keimanan kita semua. Amin.....


Selasa, 03 Juni 2008

Mimpi Itu Datang lagi…..

Jam 3 dini hari ini aku tergagap lagi, ini adalah untuk yang kesekian kalinya, aku terbangun, terbangun dan terbangun….. Ini adalah untuk yang kesekian kalinya, mimpi itu membayang – bayangi tidurku, menggelisahkan hidupku…….Ya!!! Aku gelisah!!!

Ah, rasanya ada suatu misteri yang ada di balik mimpi itu, ada sebuah makna yang tersirat dalam mimpi itu, ada sebuah pesan yang ingin disampaikan padaku, tapi aku belum juga bisa menangkap maknanya…..

Dalam mimpi itu, aku seakan kembali ke masa 18 tahun yang lalu, ketika aku masih sekolah, saat aku masih duduk di bangku SMA, saat aku masih baru mulai belajar merangkak dalam memahami kehidupan…..Dalam mimpi itu, aku seakan - akan sedang menghadapi sebuah ujian atas beberapa pelajaran, yang tersering fisika dan matematika, dua mata pelajaran yang harusnya aku sukai. Dan malam ini ujiannya adalah mata pelajaran ekonomi koperasi, pelajaran yang aku juga selalu dapat nilai memuaskan. Berita buruknya!!! aku selalu tidak pernah siap dalam mengerjakan ujian – ujian itu, aku seakan seorang pelajar SMA yang tidak pernah belajar! bahkan tidak pernah masuk sekolah!, yang tiba – tiba harus berhadapan dengan ujian… Itu yang membuatku tergagap…..

Ya!! mimpi itu selalu menempatkanku sebagai pecundang… dan itu menggelisahkanku!!!

Setiap kali aku terbangun karena mimpi itu, aku selalu berusaha menenangkan hatiku dengan pikiran, “Ah, itu kan 18 tahun yang lalu, sekarang kan aku sudah bekerja, sudah beranak istri, jadi sudah nggak perlu lagi fisika, matematika bahkan ekonomi koperasi…” Tapi di sisi lain selalu menyusul pertanyaan, “Kenapa mesti ujian???, kenapa mesti selalu tidak siap??? Bukankan aku dulu termasuk orang yang selalu jungkir balik mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian???”

Sejujurnya kukatakan, sampai detik ini aku masih bertanya – tanya tentang arti mimpi itu, aku masih berusaha memahami makna mimpi itu, tapi keterbatasan pikiran dan perasaanku, membuat aku masih harus mencari, mencari dan mencari….

Ah….rasanya aku harus mulai sholat tahajud lagi malam ini, agar aku bisa bercakap – cakap denganNya, agar aku bisa mengadu padaNya, agar aku bisa bertanya tentang arti mimpi itu padaNya…… Dan agar aku bisa mempersiapkan diri dalam menghadapi ujianNya….

Minggu, 01 Juni 2008

Beri Mereka Cahaya !!!!!!

Romantika hidup di perumahan memang penuh warna. Kadang cerah menggembirakan, kadang gelap menyesakkan… dan sering pula kelabu serba tak tentu…. Kedewasaan dalam bersikap dan bertindak untuk menghadapi warna warni itu, mungkin bisa dijadikan langkah jitu untuk menghadapinya…. Tapi masalahnya, yang seperti itu adalah sebuah ungkapan verbal yang mudah diucapkan tapi sangat sulit untuk dilakukan…..

Kisahnya begini…..
Aku dan keluargaku kebetulan tinggal di sebuah kompleks perumahan. Layaknya perumahan sederhana di kota besar, kapling – kapling tanahnya relatif kecil, yaitu 120 m² (10 m x 12 m), sehingga sempadan antar rumah sangat dekat, yang dalam kondisi masih asli (rumah belum direnovasi) sempadan bagian belakang rumah hanya 1, 5 m yang mana 0,75 m adalah jarak dari rumahku dan yang 0,75 m adalah jarak dari rumah tetanggaku. Sudah tentu posisi antar kedua rumah yang aku maksud saling membelakangi.

Masalah timbul ketika tetangga belakang rumahku, anggap saja namanya pak Joni melakukan renovasi total atas rumahnya. Karena mungkin dia sibuk atau memang tidak peduli???? ketika membangun bagian belakang rumahnya yang berbatasan dengan tanahku, dia sama sekali tidak mengajak aku untuk berunding, dan sialnya saat itu aku lagi kebagian dinas luar kota…. Maka jadilah beberapa centimeter dari tanahku termakan oleh bangunannya yang megah….Yang lebih menyakitkan lagi di bagian belakang tembok rumahnya itu (mungkin kamar atau kamar mandi???) dia juga memasang glass block ke arah halaman rumahku…. Pikiran negatifku saat itu berkata “ Ah!!, sombong banget orang ini, sudah ngambil tanah orang!!!, , masih pasang glass block ke arah halamanku lagi!!i, seolah aku tidak akan pernah bisa renovasi untuk perlebar rumahku suatu saat nanti…”

Dengan rasa kesal yang kutahan – tahan, kutemui pak Joni untuk jelaskan kerugianku atas proyek pembangunan rumahnya itu…… Misiku saat itu tidak untuk minta dia membongkar tembok tinggi di sebagian kecil halamanku yang sudah terlanjur terbangun. Karena kupikir itu akan kontraproduktif untuk kehidupan bertetangga kami kedepan…. “Semoga saja tanah itu akan membuat kuburku lebih lebar saat aku mati nanti….” pikirku. Misi utamaku adalah, agar dia tahu bahwa perilakunya itu sudah merugikan orang……biar nggak semua orang jadi korbannya….. Singkat kata, masalah tanah sudah bisa diselesaikan dengan baik, walau tidak sempurna….

Nah!!!, tibalah waktunya…. Saat aku punya rejeki lebih, akupun renovasi rumahku seperlunya, yang jelas kelas renovasinya jauh di bawah pak Joni… Saat akan bangun tembok untuk dapur, sudah tentu tembokku akan menutup glass block yang dipasang pak Joni, ini berarti ada ruangan di rumahnya yang jadi gelap!!! Karena, sumber cahaya dari rumahku yang masuk kerumahnya sudah tertutup…. Dan skenario seperti itu sudah pernah terlintas dalam pikiranku…. Juga seperti yang menjadi pendapat kerabat dekatku yang turut tersakiti atas perilaku pak Joni itu….

Tapi…. Saat akan kulakukan niatku, kok rasanya ada yang mengganjal di hati…, ada rasa tak pasti yang terus menggelitik hati….Memang, ada bisikan hati untuk tetap meneruskan niatku… toh aku membangun rumahku sendiri!!!, hak pribadiku!!!, apa peduliku sama dia????

Karena bingung, akupun minta nasihat pada Buya, guru mengajiku…. Kuceritakan segala uneg – unegku….. Dan apa yang kudengar darinya?????
“Ndra…, Jika kamu ikhlas saat kamu merelakan sebagian tanahmu untuk pak Joni dulu, Insya Allah, kuburmu nanti, akan dilapangkanNya, jika kamu tutup jalan cahaya kerumahnya, sama artinya kamu membuat gelap kuburmu sendiri…..”,
lanjut Buya, “Berikhtiarlah untuk menerangi kuburmu nanti dengan ibadahmu, berusahalah menerangi kuburmu nanti dengan amal ikhlasmu, biarkanlah cahaya masuk dari rumahmu ke rumahnya … “
“Jadi, jangan kamu tutup glass block yang sudah terpasang itu…., tapi pasanglah glass block lagi di depannya, sehingga tetap ada cahaya yang masuk ke rumah pak Joni.”
“Mereka perlu cahaya darimu, berikanlah mereka cahaya!!!!!!


Masya Allah!!!!!..... merinding hatiku mendengar nasihatnya…

Kamis, 29 Mei 2008

Haji Hasan

Perkenalanku dengan pak haji ini terjadi dua tahun yang lalu, tepatnya saat aku berniat untuk melaksanakan Aqiqah anakku Bima. Demi kepraktisan dan keinginan untuk dapat melaksanakan prosesi aqiqah tersebut dengan baik, aku dikenalkan dengan pak Hasan oleh salah seorang temanku yang kebetulan juga sudah pernah melaksanakan aqiqah di panti asuhan yang dikelolanya.

Haji Hasan adalah seorang yang mengabdikan hampir sebagian besar hidupnya untuk berdakwah. Dakwah yang ditempuhnya dengan cara mendirikan panti asuhan dan lembaga pendidikan, yang dikelola dan dibiayai secara sangat sederhana melalui yayasan yang didirikannya dan keluarganya…

Saat itu ada sekitar 200 anak yang menggantungkan hidup dan masa depannya di pundak Bapak dan Ibu Hasan ini. Selain dari sumbangan para donatur yang bersifat sukarela dan tidak mengikat, pembiayaan juga dilakukan dengan sistem subsidi silang, yaitu dari anak – anak yang bersekolah di tempatnya dan mampu membayar sedikit lebih. Untuk kemudian sedikit kelebihan itu dialokasikannya untuk membiayai anak – anak yang kurang mampu. Sebuah skema pembelajaran tentang konsep saling berbagi yang sederhana tapi sulit diaplikasikan dalam kehidupan kita…

Namun aku tidak ingin menulis panjang lebar tentang pak haji ini, karena aku ingin menulis tentang satu pernyataannya saat kami bertukar pikiran tentang pernak – pernik kehidupan ini. Pernyataan itu yang membuat aku shock dan malu pada diriku sendiri….

Begini ceritanya, saat kami asyik berbicara sambil menyeruput secangkir kopi yang dihidangkan istrinya, dia bercerita tentang kebiasaannya setiap lepas sholat Subuh sampai matahari terbit. Kebiasaan itu adalah mempelajari Al Qur’an dengan teliti dan hati – hati…

Ya, mempelajari Al Qur’an!!! Selanjutnya dikatakannya karena di dalam Al Qur’an sudah terkandung secara lengkap ilmu dunia dan ilmu akhirat, “Jika kamu ingin dunia maupun akhirat, galilah ilmunya di dalam Al Qur’an…, pahamilah makna tersurat dan tersirat yang ada di dalamnya….” begitu tuturnya. Orang – orang barat dapat lebih maju dari orang muslim karena secara langsung maupun tidak langsung mereka lebih dalam mempelajari dan memahami kandungan Al Qur’an melalui teks - teks yang mereka pelajari, sedang kita??? orang muslim…. lebih banyak yang hanya jalan di tempat untuk sekedar membacanya saja, tanpa berusaha menggali maknanya…. Dan yang lebih parah, lebih banyak lagi yang hanya menyimpannya di almari…..

Bam….!!! serasa ada beban berat yang tiba – tiba menghimpit tubuhku, ketika aku dengar kata – kata itu….Beban yang datang karena rasa malu pada diriku sendiri… Ya!! malu pada diriku sendiri…! Karena selama ini aku cuma sampai pada tataran membaca, tanpa pernah berusaha untuk memahami maknanya…. Makna tersurat dan tersirat yang terkandung di dalamnya….

Sepulang dari rumahnya, ada seribu tekad yang kubulatkan dalam hatiku… tekad untuk mempelajari karunia Allah yang ada dihadapanku dengan lebih baik lagi, secara rutin dan teliti, seperti yang sudah dilakukan pak Haji itu…

Bagaimana dengan anda…????

Jumat, 16 Mei 2008

Arti Sebuah Kesederhanaan…..

Tulisan ini ingin aku dedikasikan untuk (almarhum) Bapak…
Yang dari beliau aku belajar tentang arti sebuah makna, ‘sederhana…..’
Bapak…. dirimu memang telah lama pergi, lebih 14 tahun yang lalu…
Tapi kenangan tentangmu…..bayangan sosokmu….. tetap ada di hatiku, di hati ibu, di hati mbak Luky dan dek Pipit, di hati kami semua, orang – orang yang dekat denganmu….. doa kami untukmu, akan selalu bergema di hati…..sampai kami menyusulmu….

Posting ini mungkin agak lain dari tulisan – tulisan yang pernah aku posting sebelumnya, kalau sebelumnya aku lebih ingin menulis tentang realitas yang kutemui sehari – hari di sekitarku, di tulisan ini aku ingin menulis tentang kenangan indah yang ada di benakku dan aku juga yakin, ada di benak ibu dan kedua saudaraku, kenangan tentang (almarhum) bapakku, pendamping ibuku, bapak kami bertiga…. Namun ada intisari yang ingin aku ungkap disini, yaitu tentang arti sebuah kesederhanaan…. Tentunya sebatas kemampuanku memahami dan mengungkapkannya….

Bapak dipanggil keharibaanNya saat aku berumur 21 tahun, saat aku masih kuliah tingkat II dan belum bisa berbuat apa – apa, selain belajar…. itupun masih malas – malasan….Saat itu aku merasa dunia jadi gulita, hanya hampa yang terasa di hati…..
Waktu itu, bayangan yang ada di anganku, hanya sebuah rumah tua, yang tiang utamanya telah roboh…..

Namun sang waktu harus tetap berputar, kehidupan harus tetap berjalan, siang dan malam harus tetap datang silih berganti, dengan atau tanpa bapak di sisiku, disisi kami berempat……

Sejalan dengan berlalunya waktu, kesadaran – kesadaran tentang nasihat dan perilaku bapakku semakin sering muncul di benakku, sesuatu yang dulu, saat beliau masih ada, seperti angin lalu saja bagiku…. Memang, aku (dan mungkin kita???) kadang sering terlambat memahami sesuatu pada waktu yang seharusnya, sehingga hanya penyesalan di akhir cerita yang akan kita temui…..

Dulu, di masa hidupnya, kesenangan bapak hanya olahraga dan makan enak (enak dalam versi kami, orang kampung yang hidup pas – pasan : tempe/tahu , sayur lodeh, sambal trasi dan kadang – kadang ikan atau daging…..). Seluruh hidupnya dibaktikan untuk membahagiakan anak istrinya, baju yang dimilikinya bisa dihitung dengan jari, apalagi sepatu… mungkin tak ada dipikirannya untuk memiliki sepatu lebih dari satu pasang…….Kata - kata yang selalu terngiang – ngiang di telingaku adalah, “Nak, bapak dan ibu hanya bisa membekali hidupmu dengan ilmu, karena kami tak punya harta untuk dibagi…. manfaatkanlah kesempatan yang kami usahakan untukmu sebaik – baiknya, belajarlah dengan tekun dan hidup rukunlah dengan saudaramu…..” Ya… kata – kata itu masih terngiang jelas di telingaku, seolah baru kemarin aku mendengarnya…..

Saat itu senyum dan sapa selalu melekat di kesehariannya, sehingga hampir semua orang di kampungku dan sepanjang perjalanannya dari rumah ke kantor mengenalnya, walau mungkin hanya sebatas tegur sapa….

Dalam hidupnya, Bapak tidak memiliki dompet dan jarang memegang uang, beliau hanya punya tempat yang menyerupai dompet untuk menyimpan SIM dan STNK kendaraannya. Seluruh gaji yang diperolehnya diserahkan semuanya pada ibu, ya…. bapak mempercayakan sepenuhnya keuangan keluarga pada ibu….

Satu perilaku sederhana (yang menurutku mulia), yang baru sepenuhnya kusadari setelah kepergiannya adalah sopan santun dalam segala tindak – tanduknya, salah satu contohnya adalah tidak pernah sekalipun dalam hidupnya, aku menemui bapak duduk (walau sedang santai) sambil mengangkat salah satu kaki untuk ditumpangkan di kaki lainnya (Jawa = Jegang). Sementara aku......?????

Kesederhanaannya dalam menjalani hidup, dan mungkin dalam berpikir untuk menyiasati masalah kehidupan, seolah menggambarkan menyatunya kesederhanaan jiwa dan raganya. Beliau pasrah (Jawa : Sumeleh) atas takdir yang harus dijalaninya, yang ditunjukkan dengan keiklasannya bekerja keras untuk menghidupi keluarganya….

Saat memasuki masa pensiun, Bapak membuat kandang ayam yang direncanakan untuk mengisi hari – hari barunya sekaligus untuk mencari sumber ekonomi baru. Di depan kandang – kandang yang baru dibuat, Bapak berdoa dengan menggumam , “Ya Allah, ijinkahlah Engkau memberi aku umur panjang, agar aku bisa melihat anak – anakku menyelesaikan sekolahnya, agar aku bisa melihat mereka jadi orang…..” Gumaman itu aku dengar dari cerita ibu setelah bapak pergi untuk selamanya…

Tapi doa itu tak pernah dikabulkanNya, karena Dia punya rencana lain untuk bapak….. Sebulan kemudian, saat bapak sedang menaiki sepeda kesayangannya… stroke datang menyapa bapak……dan cuma perlu waktu sepuluh hari untuk mengantar bapak keharibaanNya, sebuah proses kepergian yang sederhana……………….

Selamat jalan Bapak….. setidaknya kami sudah bisa menggunakan bekal yang engkau berikan untuk mengarungi rimba kehidupan ini…. Doa kami untukmu, akan selalu bergema di hati…..sampai kami menyusulmu….

Selasa, 06 Mei 2008

Cobaan atau Hukuman????

Di era millenium ini, kecanggihan seolah mengelilingi kita dari segala sisi. Mulai dari kecanggihan teknologi informasi, kecanggihan pelayanan publik, kecanggihan dalam bekerja maupun berbisnis, kecanggihan bla...bla... bla... , sampai kecanggihan manusia dalam mengelola masalah yang dihadapinya...

Salah satu hal yang selalu dihadapi manusia secara silih berganti adalah masalah - masalah kehidupan, seperti : sakit, kena bencana alam, bercerai, nggak punya duit, kena PHK, berantem, kecopetan, tersangkut kasus korupsi, digunjing orang, diberitakan kurang baik di lingkungan sekitar bahkan sampai masuk koran, radio atau TV. Dan masih banyak lagi lainnya....

Dari beberapa hal yang ditulis di atas, yang kadang menggelitik aku adalah : hampir semua orang yang kena masalah itu selalu mengatakan "Saya sedang kena musibah, dapat cobaan dariNYA". Benar memang..... musibah sedang menimpa kita, karena kita kehilangan kesehatan (untuk sementara), kehilangan harta benda, kehilangan orang yang kita sayangi, kehilangan pekerjaan bahkan mungkin kehilangan harga diri....

Namun ada pertanyaan kritis yang perlu kita renungkan bersama, yaitu : benarkah itu cobaan dariNya??? Karena kadang - kadang sakit itu datang karena pola hidup kita yang bohemian, banjir dan tanah longsor itu terjadi karena keserakahan dan kebodohan kita dalam mengelola alam, kecopetan itu terjadi karena kecerobohan kita naruh dompet di saku belakang, perceraian itu datang karena memang ada perselingkuhan, hidup di balik jeruji dialami karena terbukti korupsi......

Kalau beranjak dari pola pikir di atas, tidakkah rasa malu datang mengusik, jika apa - apa yang terjadi selalu saja kata cobaan dariNYA kita jadikan alasan penyebab??? Bukankah di kitab suci juga disebutkan bahwa segala perbuatan yang dilakukan manusia akan dikembalikan (pertanggungjawabannya) pada manusia itu sendiri????

Mungkin ada baiknya, mulai saat ini saya sendiri dan mungkin juga anda (kalau berkenan....) mulai berpikir tentang arti kata cobaan dariNYA...
Jangan - jangan hal - hal yang tidak mengenakkan (bisa juga hal buruk) yang terjadi pada hidup kita bukanlah cobaan dariNYA tetapi malahan hukuman dariNYA atas perilaku buruk kita di dunia ini.... Wallahualam.

Antara Hitam, Putih dan Abu - Abu

Dalam hidup ini, warna dapat dijadikan analogi atas situasi perasaan hati manusia. Warna juga merupakan simbol atas perilaku manusia dalam menjalani hidupnya.... Salah satu simbol yang paling umum kita kenal adalah hitam, putih dan abu - abu..

Hitam sering diidentikkan dengan perilaku buruk yang dikerjakan manusia dalam kehidupan sehari - hari... Bisa itu malas beribadah, mencuri, merampok, menipu, memperkosa, korupsi, manipulasi, menggunduli hutan, buang sampah sembarangan atau bahkan sekedar menggunjing orang lain..... serta masih banyak perilaku angkara murka lainnya. Intinya perilaku yang menyimpang dari ajaran agama, yang merugikan manusia lain, yang merusak alam sekitar, yang mengganggu keseimbangan lingkungan dll sering dianalogikan dengan warna hitam.... Mungkin terlalu sempit definisi yang aku buat, tapi setidaknya itulah gambaran sederhananya atau mungkin gambaran yang sangat picik????

Putih diidentikkan dengan kebaikan, kejujuran, ketulusan, kesucian hati, keinginan untuk selalu berbagi, bertanggungjawab dll, biasanya perilaku ini menyertai orang - orang yang hidupnya lurus - lurus saja, yang ibadahnya kepada Yang di Atas Sana benar - benar tulus ikhlas... semata - mata karenaNya... Masih banyak nggak ya, orang seperti ini di jaman sekarang????

Tapi saya tidak ingin berpanjang lebar dengan hitam dan putih, karena itu terlalu mudah untuk dikenali.... Justru yang susah dikenali adalah perilaku manusia zona abu - abu...karena menurut pendapat saya dan juga pendapat beberapa orang yang pernah kudengar (benar tidaknya asumsi ini masih perlu diperdebatkan), zona abu - abu inilah yang paling mendominasi kehidupan ini... Ya.... zona abu - abu..... Di zona ini orang menggunakan kelebihan akal pikirannya untuk memutar balikkan fakta, kepandaiannya berbicara untuk memuntir kata - kata..... mengubah niat buruk yang ada di hati jadi seolah - olah perilaku suci (toh, isi hati orang tak ada yang tahu...). Di zona abu - abu ini aturan hukum yang ada jadi sasaran penafsiran yang bermacam - macam, yang kesemuanya didasarkan pada dalil kepentingan masing - masing... dan pembenaran diri atas perilaku masing - masing.

Di zona abu - abu ini, yang selalu akan jadi korban pertama adalah rakyat kecil yang segala akses kehidupannya serba terbatas (akses ekonomi, akses politik, akses pendidikan, akses pelayanan kesehatan, akses pelayanan umum dll). Dan itu mudah dimengerti, mengingat di jaman yang katanya modern ini, uang dan kekuasaan adalah panglima utama dari kehidupan. Sangat jarang kita dengar perseteruan antara si kaya dan si miskin keadilan berpihak pada si miskin.... Dari berita - berita yang sering kubaca di surat kabar atau kudengar di radio/TV, rasanya dominasi abu - abupun menyelimuti kehidupan di negara Indonesia tercinta ini.... benarkah ini???

Pertanyaanku untuk diriku sendiri (dan mungkin buat anda???) manakah pilihan warna hidup kita?? Hitam, Putih atau Abu - Abu?????? Rasanya hanya kita sendiri yang tahu jawabannya....

Selasa, 22 April 2008

Realitas "Robohnya Surau Kami" Di Negeri Ini.....

Pernah baca tulisan AA Navis yang berjudul "Robohnya Surau Kami" belum? Kalau nggak salah tulisan itu waktu dipublikasikan tahun 1957 (??) sempat bikin polemik besar di Indonesia. Masalahnya AA Navis menulis tentang problem yang dihadapi orang Indonesia yang bernama Haji Soleh di akhirat.... Ya akhirat...., suatu fase dalam siklus perjalanan hidup manusia sesuai ketetapanNya. Dan fase ini hanya diyakini oleh orang - orang yang beriman kepadaNya... Walaupun cuma sekedar fiksi, namun fiksi ini (mungkin) dirasa terlalu 'maju' buat orang Indonesia saat itu dan mungkin sampai saat ini.. sehingga membuat polemik...

Singkatnya H. Soleh yang di dunia dikenal soleh itu ditetapkan masuk neraka olehNya. Sudah barang tentu dia protes keras... Lho gimana nih Tuhan, sudah semua yang tercantum dalam ajaran agama dikerjakan kok tetap masuk neraka...... Alih - alih protes diterima malah vonis masuk neraka diperkuat lagi dalam sidang Peninjauan Kembali di majelisNya.. Selidik punya selidik yang diperoleh dari info para malaikat, Haji Soleh masuk neraka karena ibadahnya hanya untuk kepentingan dirinya sendiri alias egois...., biar dirinya aman dalam pertanggungjawaban pada Tuhan (baca : biar bisa masuk surga), sehingga dia tidak peduli pada orang dan lingkungan sekitarnya (baca : anak, istri, teman, tetangga, binatang, pohon, alam dll)....

Kalau kita pikir..... rasanya realitas ibadah Haji Soleh banyak kita temui dalam kehidupan di sekitar kita, atau mungkin ada pada diri kita sendiri????? Salah satu alasannya, kesadaran beragama masyarakat Indonesia saat ini semakin berkembang, rumah ibadah setiap saat bertambah, baik dari segi jumlah maupun kemegahannya... Acara - acara seremonial yang berbau keagamaan juga meriah dirayakan di mana - mana.... Bahkan di daerahku, disepanjang jalan banyak dipampang tulisan - tulisan yang bernafaskan agama.... Dan masih banyak lagi ciri - ciri lainnya....

Dengan realitas seperti itu seharusnya konflik horisontal tidak pernah terjadi di Indonesia, kemiskinan ditangani dengan serius, pembangunan merata di semua sektor, arogansi kekuasaan tidak pernah terdengar, hukum ditegakkan dan tidak mungkin dibeli, uang tidak dijadikan alat kekuasaan, toleransi sosial dijunjung tinggi, DPR dan pemerintah bekerjasama membangun negara, korupsi haram dilakukan, kolusi dan nepotisme nggak ada dalam pikiran .... dan masih banyak lagi yang susah kusebutin satu - satu......

Tapi kenapa yang terjadi justru sebaliknya????? Pertanyaan yang harus kita jawab bersama adalah : Apakah ibadah kita sudah benar - benar meresap sampai kehati??? atau hanya sekedar seremonial semata??? Kita sendiri yang bisa menjawab secara jujur pertanyaan itu. Tapi rasa - rasanya kita terlambat belajar dari AA Navis, yang sudah mengingatkan kita lebih dari 50 tahun yang lalu....

Anda punya pandangan lain??? saya tunggu tanggapannya.....



Selamat Membaca Semoga Berkesan....