Kamis, 18 September 2008

Kenangan Tentang Sahabatku.... (Bag. 2)

Dari sumber – sumber yang dapat kupercaya aku tahu kalau sakitnya Narto berawal dari rasa kecewa Narto yang sangat besar terutama sejak kegagalan niatnya untuk mengambil gelar S1 nya, ceritanya begini :

Sebagai penghargaan atas prestasi dan ketekunan Narto dalam bekerja sebagai staf bagian ekonomi di Pemda B terutama keberhasilannya membenahi kebobrokan beberapa koperasi di 3 kecamatan yang menjadi tanggung jawabnya maka atas inisiatif bosnya, pak Broto, Narto diusulkan untuk mendapat beasiswa dari Pemda untuk melanjutkan kuliahnya mengambil gelar S1, kebetulan saat usulan itu dibuat anggaran beasiswa Pemda B masih tersedia dan belum dimanfaatkan. Maka mudahlah ditebak kalau usulan itu berjalan mulus dan mendapat persetujuan. Dengan bekal persetujuan itu maka pergilah Narto ke kota Y untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kuliahnya itu, mulai dari pendaftaran, administrasi, buku – buku, tempat kos bahkan sampai sepeda motor butut untuk transportasi kuliahnya.

Karena saat persetujuan itu turun waktunya sangat mepet dengan pembukaan tahun ajaran baru di universitas U kota Y maka beasiswa yang seharusnya menjadi hak Narto belum dapat dicairkan, untuk itu atas saran pak Broto, Narto diminta untuk menggunakan uang pribadinya dahulu. Tanpa berpikir panjang saran itu Narto lakukan walaupun sebenarnya tabungan Narto masih sangat kurang untuk menutup semua biaya yang diperlukan, untuk itu Narto meminjamnya dari koperasi – koperasi yang ada di bawah binaannya, “Toh cuma sebentar saja, lagian kalau uang beasiswa itu turun aku akan segera kembalikan”, begitu pikirnya. Total jenderal ± Rp. 14 juta uang yang harus Narto keluarkan terlebih dahulu untuk membiayai kuliahnya.

Waktu berlalu dan mulailah masa perkuliahan yang harus Narto jalani, tapi seiring dengan bergantinya waktu setiap Narto menanyakan uang beasiswanya, nanti, nanti dan nanti adalah jawaban yang selalu Narto dengar. Selidik punya selidik ternyata uang beasiswa itu sudah dialokasikan untuk Gino, pegawai baru Pemda B yang konon kabarnya adalah keponakan pak Broto, bos Narto.
Dar….!!! Duniapun bergetarlah seiring dengan tenggelamnya Narto dalam gemuruh gulungan ombak penindasan dan kesewenang – wenangan penguasa, sekecil apapun kekuasan yang dimilikinya.

Sejak pertemuanku dengan Narto di bulan September itu aku jadi rajin lagi memonitor perkembangan kesehatan Narto sekaligus kugunakan untuk mengembalikan semangat hidupnya karena aku yakin kalau penyebab utama sakitnya Narto adalah faktor kejiwaan Narto yang mengalami shock, komunikasi dengannya kulakukan melalui telpon dan sms selain informasi yang kudapat dari keluarga dan teman – temanku yang ada di kota B. Kesempatan ini juga kulalukan untuk menggalang solidaritas di antara kawan – kawan kami yang tersebar di kota – kota lain untuk sedikit meringankan beban Narto. Melalui temanku Rizal dan Hadi dana solidaritas berhasil kami kumpulkan dan itu digunakan untuk membantu pembiayaan pengobatan Narto selanjutnya.

Alhamdulillah beberapa bulan kemudian berita yang kudapat mengabarkan kalau Narto sedikit demi sedikit sudah mulai kembali seperti sediakala, bahkan beberapa minggu yang lalu dia kembali mencambangi orang tuaku untuk bersilahturahmi dan bercerita – cerita tentang pengalamannya, sesuatu yang sudah lama tidak dilakukannya. Betapa gembiranya aku mendengarnya terlebih lagi ketika kuterima suratnya yang juga dikirimnya kepada kawan – kawanku lainnya seperti Rizal, Hadi, Eko, Bima, Indi, Ipong dan masih banyak lagi yang isinya ucapan terima kasih atas bantuan yang sudah diterimanya, keiklasan atas suratan nasib yang harus diterimanya, kembali bekerjanya dia seperti sediakala dan yang lebih utama lagi dia menginginkan jalinan solidaritas yang sudah terbentuk di antara kami lebih dikokohkan dalam suatu wadah yang dia sendiri menyanggupi untuk mengelolanya, luar biasa….! Aku sudah menemukan kembali temanku Narto, temanku yang pernah kukenal, Narto yang memiliki gairah hidup….

Dan pada suatu dini hari, saat aku masih terlelap kelelahan di kamar sebuah hotel dalam rangka tugasku di kota P , ring tone hand phoneku berbunyi beberapa kali, dengan malas kulihat panggilan yang masuk, ternyata dari Narto! Segera kubatalkan panggilannya dan aku yang akan menelpon dia balik karena aku masih lebih ikhlas membayar biaya pulsa daripada harus membayar biaya roaming (waktu tulisan ini dibuat, roaming masih jadi komponen biaya di telepon seluler). Tapi sebelum kutelpon dia, ternyata sudah ada sms darinya yang isinya : “Bangun, segera sholat biar Allah meringankan semua langkahmu”, aku tersenyum membacanya, bisa juga dia mengingatkanku untuk sholat walaupun dia seorang Katolik yang taat. Karena waktu Subuh di kota P masih belum masuk maka segera kutelpon balik Narto pingin tahu apa keperluannya nelpon aku dini hari seperti ini.

“Halo To, gimana kabarmu, kamu lagi dimana kok malam – malam gini nelpon, ada yang penting?”, berondongku.
“Penting banget San! aku sekarang lagi di kota S, di rumah Rizal, pokoknya besok pagi – pagi benar kamu langsung ke bandara, ambil penerbangan pertama ke J langsung dikonekkan ke kota S, aku perlu kamu jam 10 pagi untuk menghadap pak gubernur, untuk presentasi tentang peta digital keahlianmu!”, jawabnya bertubi – tubi.
“Wah kalau besok pagi aku nggak bisa, aku masih dinas di P, lagian sekarang lagi musim liburan sekolah, peak season! Nggak gampang cari tiket!” sanggahku.
“Tapi ini penting, San! Kalau gitu ntar aku hubungi pegawai sekretariat kantor gubernur untuk menunda pertemuannya!” katanya lagi.
Mendengar kata – katanya aku tercenung… apa semudah itu mengatur waktu seorang gubernur? Tapi aku teruskan pembicaraan telpon itu.
“Wah, tetap aku nggak bisa To, gini aja kamu teruskan rencanamu, aku akan back up dari belakang gimana?” usulku.
“Berapa gajimu disana sih San? Udah kamu ikut aku aja! Ntar kunaikkan gajimu Rp. 500 ribu…” katanya di ujung sana.
Terkejut aku mendengar kata – katanya, tapi aku masih bisa tahan kemarahanku mendengar kata – katanya yang tidak biasa dan cenderung melecehkanku itu.
“Ha…ha…ha…” tawaku pahit, lanjutku sekenanya, “aku sekarang sedang ditawari pindah kerja di perusahaan besar dengan tambahan gaji jauh lebih besar dari Rp. 500 ribu aja aku masih belum mau kok kamu cuma nambahin segitu..”
“Tapi ini bagus untuk masa depanmu, San! Apalagi kalau nanti aku jadi bupati B pasti kamu akan kubuat makmur”, sahutnya.

Semakin lari kesana – kemari kata – katanya dan aku semakin tak mengerti apa yang sedang terjadi dengannya. Karena selama aku kenal Narto dia tidak pernah berkata – kata yang mengarah ke arah pongah dan sombong seperti yang barusan kudengar. Akhirnya setelah lebih dari 20 menit pembicaraan tak menentu itu aku berhasil menghentikannya dengan alasan akan sholat Subuh. Seusai sholat kuhubungi Rizal dan kutanyakan tentang keadaan Narto di rumahnya. Dari Rizal aku tahu kalau Narto ke kota S hanya dengan selembar baju yang menempel di tubuhnya, tanpa uang sepeserpun dan katanya akan menemui pak gubernur untuk membicarakan proyek pemetaan digital kota B yang belum jelas ada tidaknya proyek itu. Bahkan seperti juga aku, Rizal juga disuruhnya berhenti dari pekerjaannya. Lebih jauh Rizal mengatakan kalau semalam suntuk Narto tidak tidur dan hanya mencericau tentang angan – angannya ketemu pak gubernur, hayalannya untuk jadi orang kaya dan menguasai dunia, keinginannya untuk membalas sakit hatinya pada orang yang telah merampas beasiswa kuliahnya dan yang utama hasratnya untuk membalas dendam, dendamnya pada kemiskinan dan orang – orang yang diingatnya pernah mendzoliminya di masa lalu. Masya Allah!!! Lemas aku mendengarnya…. Dan beberapa hari kemudian sepulangnya dari kota P aku mendapat kabar kalau Narto oleh kantor dan teman – temannya dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa…..

Dan sekarang 4 tahun kemudian, ketika aku posting tulisan ini ke Blogku, Narto sudah benar – benar pergi meninggalkanku, meninggalkan kami semua… Ya dia pergi menghadap ke haribaanNya 2,5 tahun yang lalu. Dia pergi karena digerogoti penyakit aneh yang dideritanya. Selamat jalan kawan, Semoga Tuhan melapangkan jalanmu di sana…….

5 komentar:

Riadi S mengatakan...

Hmmm, nice story. Its cool man, have a nice weekend.
jobvacancylowongan.blogspot.com

semarak dangdut mengatakan...

critanya menarik..cukup bisa memberikan gambaran bagi pembacanya..tapi mungkin perlu ditambah sentuhan feeling yg lebih intens..utk menambah dramatik story-nya..soalnya ceritanya tragedi..itu pendapat awam lho..he2x..jangan dipercaya...be what u wanna be..waktu yg akan menempanya...

good luck

deni trisiana mengatakan...

gak nyangka ya kalau berakhirnya tragis begitu :(
inget jaman dulu, kayaknya alm. temen kita ini selalu menampakkan kegembiraan dan semangat hidup, humoris banget walaupun kadang2 sifat PDnya suka tiba2 ilang :)
semoga true story diatas bisa jadi pembelajaran buat semua ya.....

bapake aiman mengatakan...

satu persatu rekan pulang ke kampung Abadi ya nDra. Sampai sekarang saya masih suka teringat mereka, kenangan yang membuat saya bangga punya teman mereka.

the best mirror is an old friend (Geroge Herbert)

Unknown mengatakan...

Nice posting dan nice writing.
Semoga almarhum mendapat tempat yang terbaik disana. Dari yang diceritakan aku jadi tau sebab dan musababnya latar belakang dsb.
Semoga menjadi pelajaran juga bagi kita semua. But for everything happen, yang tetap akan tersimpan dikepala adalah tetep My Friend Narto apa adanya.

FYI: terakhir ketemu keluarganya, kemarin waktu lebaran dan kelihatannya lebih baik.




Selamat Membaca Semoga Berkesan....