Senin, 15 September 2008

Kenangan Tentang Sahabatku.... (Bag. 1)

Tulisan ini kudedikasikan untuk sahabatku (Alm) Yohanes Suminardi,
"Yo..., kebersamaan yang pernah kita alami bersama, adalah salah satu puncak pembelajaranku dalam memahami arti kata persahabatan"

Sunarto

Kota tempat aku dilahirkan adalah sebuah kota kabupaten, di ujung selatan – barat sebuah propinsi yang ada di tengah – tengah pulau Jawa, di tepi samudra Indonesia, kota ini adalah ibukota dari sebuah kabupaten yang memiliki areal cukup luas dan bervariasi pemanfaatannya, mulai dari berbagai industri besar bernilai investasi sangat tinggi, industri rumah tangga berskala kecil sampai besar, perdagangan, transportasi darat – laut - udara, pertanian rakyat, perkebunan tanaman keras, perikanan laut dan sungai dan masih banyak lagi sampai lokasi pembuangan orang – orang yang oleh negara dan masyarakat dicap sebagai pendosa alias narapidana. Ya! Di diseberang lautan sana yang masih masuk dalam wilayah kabupaten B ada sebuah pulau, pulau K namanya yang cukup seram reputasinya karena merupakan lokasi dari beberapa LP kelas satu di negeri ini tempat para narapidana kelas kakap menghabiskan hari – harinya. Tapi alangkah baiknya kalau aku tidak berpanjang lebar menulis tentang LP – LP yang ada di kabupaten tempatku dilahirkan karena selain aku tidak cukup menguasai masalah itu juga karena menurutku ada sebuah masalah yang lebih penting yang ingin kuceritakan disini.

Sebenarnya perhubunganku dengan kotaku ini bisa dikatakan sudah tidak terlalu intens lagi karena sudah hampir 16 tahun lalu aku sudah tidak menetap lagi disana, itu karena selepas SMP kedua orang tuaku sudah mengirimku bersekolah di luar kota hingga akhirnya sampai aku lulus sekolah, bekerja dan berumah tangga pun aku sudah terlepas dari denyut nadi kehidupan kotaku. Satu – satunya penghubungku hanya karena orang tuaku dan dinasti keluarga besarku masih menetap di sana dan beberapa gelintir teman – teman masa laluku yang masih berhubungan denganku, salah satunya adalah Narto, Sunarto nama lengkapnya, sahabat masa kecilku hingga saat ini. Nartolah yang akan kujadikan sebagai subyek dari ceritaku ini.

Jika datang ke kotaku dengan menaiki kendaraan umum dari luar kota cukuplah berhenti di terminal bis, dari terminal berjalanlah melintasi jalan L sejauh ± 700 m ke arah timur maka disebelah kiri jalan kita akan temui sebuah papan bertuliskan “Warung Sekoteng” itu tandanya kita sudah menemui rumah dari orang yang kumaksudkan dalam tulisan ini, rumah Narto, rumah sahabatku. Tapi bagi orang yang sudah kenal dengan kota B dan rute bis – bis yang datang dari luar kota untuk menuju rumah Narto tidak perlu turun di terminal karena rumah Narto sendiri dilewati bis – bis itu. Sedang rumah orang tuaku, tempat aku menghabiskan masa kecilku terletak di jalan B yang jaraknya ± 800 m ke arah timur – selatan dari rumah Narto.

Persahabatanku dengan Narto dimulai saat kami sama – sama duduk di kelas dua SMP, ya! kami belajar di sekolah yang sama dan kelas yang sama yaitu kelas IIB SMP Anggrek, sebuah SMP yang pada saat itu bisa dikatakan terbaik di kotaku. Rumah yang berdekatan, sekolah yang sama, sama – sama bersepeda ketika berangkat dan pulang sekolah dan sudah barang tentu route yang sama maka kloplah kalau kemudian aku dan Narto jadi sering menghabiskan waktu bersama. Yang kuingat saat itu di halaman depan rumah Narto ada 3 pohon jambu air, satu pohon jambu air warna merah dan dua pohon jambu air warna putih yang buahnya manis – manis dan hampir sepanjang tahun berbuah, daya tarik itu merupakan magnet utamaku untuk lebih sering menghabiskan waktu bermain di rumah Narto.

Tentang warung sekoteng yang jadi cap rumah Narto sampai saat ini pun aku mengetahui asal usulnya. Ini bermula dari pemikiran ibu Narto untuk mencari tambahan penghasilan setelah ayah Narto meninggal karena sakit, uang pensiun janda seorang pegawai rendahan seperti yang setiap bulan diterima ibu Narto pasti tidaklah cukup untuk menghidupi dan menyekolahkan Narto dan dua orang adiknya. Oh ya Narto punya dua orang adik, seorang lelaki Untung namanya dan si bungsu perempuan Lina namanya. Jarak umur antara Narto dan kedua adiknya tidaklah terlalu jauh menurut pengamatanku. Dengan warung itu setiap malam kecuali Minggu malam, mulai dari sehabis magrib sampai kurang lebih jam sepuluh malam keluarga Narto bekerja mencari penghidupan, selain sekoteng mereka juga menyediakan kopi, teh, telor ayam kampung setengah matang, mendoan (makanan khas daerah kami berupa tempe dari bahan kedelei yang dibuat tipis dan lebar dan digoreng tidak terlalu kering dengan tepung yang dilengkapi dengan bumbu – bumbu secukupnya), pisang goreng dan tahu isi. Karena memang cita rasa yang mereka sajikan cukup enak ditambah situasi warungnya yang bersih dan keramah – tamahan keluarga Narto dalam melayani pembeli maka mudah diterka kalau warung itu menjadi sumber penghidupan yang layak dan langgeng untuk keluarga Narto hingga Narto bisa belajar sampai ke jenjang DIII sebuah universitas negeri di kota S demikian juga dengan kedua adiknya.

Warung itu pula yang menjadi markas berkumpul kawan – kawan Narto semasa SMP dan SMA untuk saling bercerita pengalaman masing – masing sambil saling bertukar informasi tak terkecuali aku kalau kebetulan sedang pulang liburan ke kotaku B. Bahkan sampai saat ini kalau segala sesuatunya berjalan normal aku yakin warung itu akan tetap jadi sumber informasi yang lengkap dan terpercaya untuk kami semua karena secara kebetulan Narto diterima sebagai pegawai negeri sipil di Pemda kabupaten B, kota kami, yang berarti Narto akan kembali menetap di kota B setelah sebelumnya sempat meninggalkannya untuk belajar di kota S selama 3 tahun.

Hampir lima tahun sudah Narto mengabdikan dirinya sebagai pegawai di jajaran Pemda kabupaten B dan semuanya berjalan lancar kecuali komunikasi kami yang mulai agak tersendat karena kesibukanku bekerja dan mengurus rumah tangga yang baru dua tahun ini kubangun dengan wanita pilihanku, namun demikian kabar tentang Narto tetap aku dengar dari cerita – cerita orang tuaku termasuk rencana Narto untuk melanjutkan kuliah di kota Y guna melengkapi kesarjanaan S1 nya. Hingga pada bulan September tahun lalu aku mendapat penugasan dari perusahaanku untuk melakukan suatu pekerjaan di kotaku B. Kesempatan ini sudah barang tentu kumanfaatkan untuk pulang ke rumah orang tuaku dan juga untuk menemui Narto, sahabatku. Tapi….. Betapa terpananya aku…. Waktu kudatangi rumahnya yang kutemui adalah Narto yang benar – benar lain dari Narto yang selalu ada di pikiranku : Narto yang berbadan tegap berisi dengan bola mata yang berpendar – pendar memancarkan gairah hidup di usia 32 tahunnya dan Narto yang tertawa gembira menyambut kedatangan sahabat lamanya seperti yang selalu kualami sebelum – sebelumnya. Tapi kini…. Aku menemui Narto yang kurus kering, loyo, berwajah layu, berbola mata tanpa semangat dan sering terbatuk - batuk.
“To, apa yang terjadi denganmu?”
“Entahlah San, yang jelas aku punya penyakit yang aneh….”, jawabnya.
“Aneh gimana maksudmu, To?” tanyaku.
“Ya aneh! Wong aku sudah berobat kemana – mana nggak sembuh – sembuh! Ke dokter ini, ke dokter itu, ke tabib, sinshe, orang pinter, di kota sini, kota sana… nggak ada yang bisa njelasin apa sebenarnya penyakitku! Ada yang bilang lever, batu ginjal, jantung dan penyakit – penyakit serem lainnya, tapi nggak ada yang jelas dan bikin aku sembuh…. Aku putus asa San…” ucapnya melemah dan kulihat ada butiran air matanya menetes dari kelopak matanya… Narto menangis! Sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
“Gini aja To, kamu tetap usaha berobat semampumu, nanti aku coba kirim obat yang cukup manjur dari Amerika dari jalur bosku, siapa tahu cocok buatmu, kebetulan kemarin berkat obat itu ibuku yang harusnya dioperasi tumor jadi nggak dioperasi karena tumornya hilang pelan - pelan!” janjiku.
“Tapi harganya mahal San, kamu kan tahu ekonomiku…” sanggahnya tak bersemangat.
“Pokoknya tenang aja lah To! kamu nggak usah mikir biayanya, biar aku usahain semampuku..” kataku. “Pokoknya yang penting kamu harus tabah dan tetap bersemangat, kamu harus bisa mengalahkan penyakitmu, wong calon bupati kota B kok kalah sama penyakit…”, lanjutku untuk memompa semangatnya, ya memang kami sering berkelakar bahwa Nartolah nantinya yang paling cocok jadi bupati kota kami biar kami teman – temannya kecipratan makmur.
“Terima kasih San” jawabnya sedikit bergairah, “Doakan aku cepat sembuh..”
Dan akhirnya kami tenggelam dengan percakapan kami yang lain walaupun tak lama kemudian aku pamit pulang untuk mempersiapkan pekerjaanku juga karena aku tidak ingin mengganggu istirahat Narto.

Bersambung....

0 komentar:




Selamat Membaca Semoga Berkesan....